Search This Blog

RameRame. Theme images by Storman. Powered by Blogger.

Cara Membuat Voucher Hotspot di Mikhmon Server

 Mikhmon adalah aplikasi berbasis web untuk mempermudah pengelolaan hotspot MikroTik, tanpa menggunakan radius server. Penjelasan lengkap te...

Showing posts with label ilmu agama. Show all posts
Showing posts with label ilmu agama. Show all posts

Silaturrahim Sebagai Perekat Kasih Sayang

- No comments

Oleh : Dr.KH. Zakky Mubarak, MA

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah s.a.w. bersabda: “Allah s.w.t. telah menciptakan makhluk sampai ketika Dia selesai menyempurnakan penciptaan mereka, rahim bangkit dan berkata, “Tempat (kuberdiri) ini apakah tempat orang yang minta perlindungan (kepadamu) dari memutuskan (silaturrahim)?” “Benar,” jawab Allah, “Apakah kamu tidak rela kalau Aku memberikan rahmat kepada orang yang menyambungmu (rahim) dan memutus rahmat kepada orang yang memutuskanmu?”. “Ya, aku rela,” jawab si rahim. Allah pun menetapkan, “Itulah tempat yang layak bagimu.” Kemudian Rasulullah bersabda, “Kalau kalian mau, bacalah (QS. Muhammad: 22–24): “Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan keluarga (baca: silaturrahim)? Mereka 
itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka. Maka apakah mereka tidak memperhatikan alQur'an ataukah hati mereka terkunci?” (Hadis Shahih, Riwayat al-Bukhari: 5528 dan Muslim: 4634. teks hadis di atas riwayat Muslim)

1. Makna Silaturrahim
      Kata rahim semula artinya adalah tempat pembentukan janin yang terdapat di dalam perut ibu (uterus). Tetapi rahim yang diperintahkan untuk disambungkan dan diperlakukan dengan baik, serta dilarang untuk memutuskan hubungannya adalah rahim dalam pengertian keturunan yang berasal dari satu uterus (peranakan) yang satu sama lain masih ada pertalian darah, kekerabatan, kekeluargaan, dan persaudaraan.

       Menurut al-Qurthubi, rahim yang harus disambungkan itu ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus. Rahim yang bersifat umum adalah saudara se-agama. Mereka adalah kaum muslimin secara umum, sebagaimana dalam firman Allah yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara...” (QS. al-Hujurat, 49: 10). Bersilaturrahim kepada mereka diwujudkan dengan mencintai, menghormati, memberikan nasehat, berlaku adil dan jujur serta memberikan hak-hak mereka secara proporsional. Adapun rahim yang bersifat khusus ialah kerabat dan keluarga. Kewajiban bersilaturrahim kepadanya ialah menyokong nafkah kerabat-kerabatnya yang lemah, membantu untuk meringankan kesibukan, dan berusaha untuk menghindarkan musibah yang menimpanya. (al-Qurthubi: 1372: 16/247)

       Apa yang harus dilakukan dalam bersilaturrahim, menurut Ibnu Jamrah, bila ditujukan kepada kaum muslimin yang beriman ialah menyampaikan kebajikankebajikan dan menolak segala bahaya menurut kemampuan yang ada. Dan apabila ditujukan kepada orang atheis, non-muslim, atau orang fasik ialah dengan mengajaknya untuk bertobat, melakukan kebajikan dalam bidang sosial, dan menjauhkan diri dari mereka dalam bidang akidah dan syariah.

       Rahim menurut hadis di atas, dilukiskan sebagai makhluk hidup atau sebagai benda yang bergerak dan dapat berbicara atas izin Allah. Kenyataan ini dapat ditemukan pula dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Aisyah r.a.: Artinya: Rasulullah s.a.w. bersabda, “Rahim itu menggantung di Arsy, seraya berkata, “Siapa yang menyambungku, maka Allah akan menyambungnya, dan siapa yang memutusku, maka Allah akan memutusnya.” (Hadis Shahih, Riwayat alBukhari: 5529, Muslim: 4635. teks hadis di atas riwayat Muslim)

        Penafsiran hadis-hadis tersebut, yang menggambarkan rahim sebagai makhluk yang hidup dan bisa berbicara, mengundang polemik di antara para ulama. al-Qadhi Iyadh menyatakan bahwa rahim itu sebagai makhluk yang memiliki aktivitas jasmaniyah. Ia merujuk pada makna eksplisit hadis di atas. Menurutnya, pelambangan tersebut memberi kesan baik bagi orang yang menyambung rahim
(tali kekerabatan dan persaudaraan) dengan memperoleh kemaslahatan di dunia dan di akhirat, dan kesan buruk bagi orang yang memutuskannya dengan menerima azab yang berat dari Allah di kemudian hari. Atau rahim yang dapat bergerak dan berbicara itu dapat ditakwilkan dengan malaikat yang berada di Arsy. Malaikat itu bergerak dan berbicara atas perintah Tuhan.

        Pendapat tersebut senada dengan al-Qurthubi. Hanya saja alQurthubi menambahkan, tidak mustahil bagi Allah menjadikan rahim sebagai makhluk yang berakal dan mampu berbicara sesuai dengan kehendak-Nya. Jika Allah menghendaki sesuatu untuk terjadi, maka sesuatu i t u a k a n t e r j a d i , sebagaimana yang disebutkan dalam ayat alQur'an: Artinya: “Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” maka terjadilah ia.” (QS. Yasin, 36: 82)

2. Hukum Silaturrahim
       Para ulama sepakat bahwa menyambung silaturrahim adalah suatu kewajiban, sedangkan memutusnya adalah suatu tindakan yang diharamkan. Ketetapan ini berdasarkan beberapa teks al-Qur'an dan hadis-hadis shahih yang menyerukan untuk menyambung hubungan kekerabatan dan mengultimatum bagi siapa saja yang memutuskannya. Di antaranya adalah firman Allah: Artinya: “Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh, dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan melakukan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (neraka).” (QS. al-Ra'd, 13: 25)

       Demikian kerasnya peringatan agama kepada orang-orang yang memutus tali silaturrahim, ancamannya adalah neraka. Bahkan lebih keras lagi, mereka diancam tidak a k a n m a s u k s u r g a . Sebagaimana dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Jubair bin Muth'im, Rasulullah s.a.w. bersabda: Artinya: “Seorang pemutus silaturrahim tidak akan masuk surga.” (Hadis Shahih, Riwayat al-Bukhari: 5525, Muslim: 4636, Abu Dawud: 1832, dan al-Tirmidzi: 1445)

       Menurut al-Qadhi Iyadh, silaturrahim itu memiliki beberapa tingkatan. Tingkatan yang terendah adalah menghindari timbulnya percekcokan, dan gemar menyampaikan salam kepada saudara-saudaranya. Tentu saja tingkatan silaturrahim yang lebih tinggi diwujudkan dengan sikap yang lebih dari itu semua. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, tingkatan-tingkatan itu kembali kepada kesanggupan dan kemampuan orang yang  melaksanakannya. Oleh karena itu, silaturrahim itu ada yang berstatus wajib, dan ada pula yang berstatus sunnah. Seseorang yang berusaha untuk bersilaturrahim, kemudian gagal karena suatu hal, maka ia tidak dikategorikan sebagai orang yang memutuskan hubungan.

3. Memutus Silaturrahim
       Setelah mengetahui betapa dahsyatnya ancaman Allah dan Rasul-Nya bagi orang-orang yang memutus silaturrahim (Qathi' al-Rahim), permasalahan berikutnya adalah siapa saja yang dikategorikan sebagai pemutus silaturrahim ini?

      Untuk menjawab hal ini, para ulama kembali berbeda pendapat. Zainuddin al-Iraqi menetapkan bahwa segala tindakan atau perbuatan yang tidak pantas diarahkan kepada karib kerabat dan saudaranyanya, maka hal itu dikategorikan sebagai tindakan yang memutus silaturrahim. Ulama yang lain berpendapat bahwa orang yang memutus silaturrahim adalah orang yang tidak berbuat baik (ihsan) kepada sesamanya. Silaturrahim itu termasuk perbuatan ihsan yang dituntut oleh agama. Apabila melakukannya, maka ia adalah muhsin (orang yang berbuat baik), sedangkan apabila meninggalkan atau memutuskannya, maka ia adalah musi` (orang yang berbuat buruk dan dosa).

       Selain itu, ada juga ulama yang mengklasifikasikan orang-orang yang terlibat dalam silaturrahim itu menjadi tiga, yaitu al-Washil, al-Mukafi, dan al-Qathi'. Sebagaimana sebuah hadis dari Abdullah bin Amr, Rasulullah s.a.w. bersabda: Artinya: “Washil (orang yang bersilaturrahim) itu bukan Mukafi` (orang yang membalas silaturrahim), tetapi yang disebut washil adalah orang yang bersilaturrahim ketika orang lain memutuskan (rahim)nya.” (Hadis Shahih, Riwayat al-Bukhari: 5532, Abu Dawud: 1446, al-Tirmidzi: 1831, dan Ahmad: 6496. teks hadis di atas riwayat al-Bukhari)

      Hadis ini menunjukkan adanya perbedaan antara pengertian al-washil, almukafi`, dan al-qathi'. al-Washil adalah orang yang mendahului untuk bersilaturrahim kepada karib kerabatnya. al-mukafi` adalah orang yang membalas silaturrahim dari karib kerabatnya dengan perbuatan yang serupa. Sedangkan alqathi adalah orang yang tidak termasuk alwashil dan tidak pula bagian dari almukafi`, karena ia telah memutuskan hubungan dengan karib kerabatnya. Inilah pemutus silaturrahim yang diancam dengan keras oleh Allah dan Rasul-Nya sebagaima keterangan di atas.




Konsep Kebudayaan dalam Islam

- No comments

Menurut ahli budaya, kata budaya merupakan gabungan dari dua buah kata yaitu budi dan daya. Budi adalah akal, pikiran, paham, pendapat, ikhtisar, perasaan. Sedangkan daya adalah tenaga, kekuatan, kesanggupan. Dari dua pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa budaya adalah segala usaha dan upaya manusia yang dikerjakan dengan empergunakan hasil pendapat untuk memperbaiki kesepurnaan hidup (Sidi Gazalba, 1998 : 35).  Jika kita membicarakan tetang kebudayaan berarti kita membicarakan kehidupan manusia dengan segala aktivitasnya. Dengan melakukan berbagai macam kegiatan manusia berusaha dengan segala upaya dan kemampuannya untuk mengerjakan sesuatu yang bermanfaat bagi hidup. Dan kesempurnaan hidup dapat dicapai apabila manusia dapat mempergunakan akal budinya dengan baik.
Secara umum konsep islam berangkat dari dua pola hubungan yaitu hubungan secara vertikal yaitu dengan Alloh SWT dan hubungan dengan sesama manusia. Hubungan yang pertama berbentuk tata agama (ibadah), sedangkan hubungan kedua membentuk sosial (muamalah). Sosial membentuk masyarakat, yang jadi wadah kebudayaan. Dalam hubungan manusia dengan Tuhan manusia menaati perintah dan laranganNya. Namun hubungan manusia dengan manusia, ia masuk kategori kebudayaan.
Konsep islam tersebut termaktub dalam Al – Qur’an yang merupakan sumber pertama dan utama. Ayat – ayat yang pertama turun adalah perintah untuk membaca. Membaca artinya memahai makna yang dibacanya, ini berarti penggunaan akal dan pikiran. Sehingga dipahami bahwa Al – Qur’an mendorong penggunaan akal pikiran dan pengembangan secara maksimal.    
Kebudayaan adalah alam pikiran atau mengasah budi. Usaha kebudayaan adalah pendidikan. Kebudayaan adalah pergaulan hidup diantara manusia dan alam semesta. Boleh jadi kebudayaan adalah usaha manusia melakukan tugas hidup sebagai khalifah fil ardli (pemimpin di bumi). Kebudayaan merupakan persoalan yang sangat luas, dan sangat melekat pada iri manusia. Artinya, manusialah sejatinya pencipta dari kebudayaan tersebut. Kebudayaan hadir bersamaan dengan lahirnya manusia. Dari penjelasan ini, kebudayaan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu kebudayan sebagai suatu proses dan kebudayaan sebagai suatu produk.
Al – Qur’an memandang kebudayaan sebagai suatu proses, dan meletakkan kebudayaan sebagai eksistensi hidup manusia. Kebudayaan merupakan suatu totalitas kegiatan manusia yang meliputi kegiatan akal hati dan tubuh yang menyatu dalam suatu perbuatan. Oleh karena itu, secara umum kebudayaan dapat dipahami sebagai hasil akal, budi, cipta rasa, karsa, dan karya manusia. Ia tidak ungkin terlepas dari nilai – nilai kemanusiaan, namun bisa jadi lepas dari nilai – nilai kemanusiaan.
Kebudayaan islam adalah hasil akal, budi, cipta rasa, karsa, dan karya manusia yang berlandaskan pada nilai – nilai tauhid. Islam sangat menghargai akal manusia untuk berkiprah dan berkebang. Hasil akal, budi, rasa, dan karsa yang telah terseleksi oleh nilai – nilai keanusiaan yang bersifat universal berkembang menjadi sebuah peradaban. Dalam perkembangannya, kebudayaan perlu dibimbing oleh wahyu dan aturan – aturan yang mengikat agar tidak terperangkap pada ambisi yang bersumber dari nafsu hewani dan setan, sehingga akan merugikan dirinya sendiri. Di sini agama berfungsi untuk membimbing manusia dalam mengembangkan akal budinya sehingga menghasilkan kebudayaan yang beradab atau peradaban islami. Oleh karena itu misi ke-Rasulan Nabi Muhamad SAW sebagaiman sabdanya “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak”. Artinya Nabi Muhamad SAW mempunyai tugas pokok untuk membibing manusia supaya mengembangkan kebudayaan sesuai dengan petunjuk Alloh SWT.
Awal tugas ke-Rasulan Nabi meletakkan dasar – dasar kebudayaan islam yang kemudian berkembang menjadi peradaban islam. Ketika dakwah islam keluar dari Jazirah Arab kemudian tersebar ke seluruh dunia maka terjadilah suatu proses panjang dan rumit yaitu asimilasi budaya setempat dengan niali – nilai islam itu sendiri. Kemudian menghasilkan kebudayaan islam, kemudian berkebang menjadi suatu peradaban yang diakui kebenarannya secara universal.
2.2 Prinsip – Prinsip Kebudayaan Islam
            Menurut  Amer Al-Roubai, islam bukanlah hasil dari produk budaya, akan tetapi islam justru membangun sebuah budaya, sebuah peradaban. Peradaban yang berdasarkan Al – Qur’an dan Sunnah Nabi tersebut dinamakan peradaban islam. Kebudayaan islam bukanlah kebudayaan yang diciptakan oleh masyarakat islam, tetapi kebudayaan yang bersumber dari ajaran – ajaran islam/kebudayaan yang bersifat islami. Kebudayaan tersebut harus memenuhi prinsip – prinsip sebagai berikut :
a.       Menghormati akal
Manusia dengan akal yang dimilikinya dapat membangun atau membentuk kebudayaan baru. Kebudayaan islam tidaklah menampilkan hal – hal yang dapat merusak manusia. Dijelaskan dalam Q.S Ali – Imron 3:190 “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang terdapat tanda – tanda kebesaran Allah bagi orang yang berakal”.
b. Motivasi untuk menuntut dan mengembangkan ilmu. Dijelaskan dalam       Q.S Al-Mujadalah 58:11 “Allah akan mengagkat (derajad) orang – orang yang beriman di antaramu dan orang – orang yang berilmu berupa derajad”.
c.  Menghindari taklid buta
Kebudayaan islam hendaknya mengantarkan umat manusia untuk tidak menerima sesuatu sebelum diteliti. Firman Allah SWT Q.S Al-Isra 17:36 “Dan janganlah kamu mengikuti dari sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendegaran, penglihatan dan hati nurani semua itu akan diintai pertanggungjawaban”. 
d. Tidak membuat kerusakan
Firman Allah SWT Q.S Al-Qhasash 28:77 “Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh Alloh tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.”
Kebudayaan itu tidak terlepas dari prinsip – prinsip yang digariskan ad-din yaitu kemanusiaan. Kemanusiaan merupakan hakikat manusia, kemanusiaan itu sama saja dahulu, sekarang, dan yang akan datang. Tetapi perwujudan kemanusiaan itu tumbuh, berkembang, berbeda dan diperbaharui. Perubahan – perubahan terus terjadi, naun asasnya tetap, yaitu asas yang dituntun, ditunjuki, diperingatkan dan diberitakan oleh Al  - Qur’an dan Al Hadis.             
2.3 Sejarah intelektual Umat Islam
            Taufik Abdullah (2002) membagi sejarah pemikiran Islam di Nusantara dari abad ke-13 hingga pertengahan abad ke-19 M ke dalam tiga gelombang. Gelombang Pertama adalah gelombang diletakkannya dasar-dasar kosmopolitanisme Islam, yaitu sikap budaya yang menjadikan diri sebagai bagian dari masyarakat kosmopolitan dengan referensi kebudayaan Islam. Gelombang ini terjadi sebelum dan setelah munculnya kerajaan Samudra Pasai hingga akhir abad ke-14 M. Dalam Gelombang Kedua terjadi proses islamisasi kebudayaan dan realitas secara besar-besaran.Islam dipakai sebagai cermin untuk melihat dan memahami realitas. Pusaka lama dari zaman pra-Islam, yang Syamanistik, Hinduistik dan Buddhistik ditransformasikan ke dalam situasi pemikiran Islam dan tidak jarang dipahami sebagai sesuatu yang islami dari sudut pandang doktrin. Gelombang ini terjadi bersamaan dengan munculnya kesultanan Malaka (1400-1511) dan Aceh Darussalam (1516-1700). Dalam Gelombang Ketiga, ketikapusat-pusat kekuasaan Islam di Nusantara mulai tersebar hampir seluruh kepulauan Nusantara, pusat-pusat kekuasaan ini ‘seolah-olah’ berlomba-lomba melahirkan para ulama besar. Dalam gelombang inilah proses ortodoksi Islam mengalami masa puncaknya. Ini terjadi pada abad ke-18 – 19 M.
2.3.1 Gelombang Pertama
            Agama Islam sudah muncul di Nusantara sekitar abad ke-8 dan 9 M yang dibawa oleh para pedagang Arab dan Persia. Namun baru pada abad ke-13 M, bersamaan dengan berdirinya kerajaan Samudra Pasai (1272-1450 M), agama ini mulai berkembang dan tersebar luas. Di kerajaan Islam besar tertua inilah peradaban dan kebudayaan Islamtumbuh dan mekar. Sebagai kota dagang yang makmur dan pusat kegiatan keagamaan yang utama di kepulauan Nusantara, Pasai bukan saja menjadi tumpuan perhatian para pedagang Arab dan Parsi. Tetapi juga menarik perhatian para ulama dan cendekiawan dari negeri Arab dan Parsi untuk datang ke kota ini dengan tujuan menyebarkan agama dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Dalam kitab Rihlah (Paris 1893:230), Ibnu Batutah yang mengunjungi Sumatra pada tahun 1336 M, memberitakan bahwa raja dan bangsawan Pasai sering mengundang para ulama dan cerdik pandai dari Arab dan Parsi untuk membincangkan berbagai perkara agama dan ilmu-ilmu agama di istananya. Karena mendapat sambutan hangat itulah mereka senang tinggal di Pasai dan membuka lembaga pendidikan yang memungkinkan pengajaran Islam dan ilmu agama berkembang.
            Salah satu karya intelektual Islam tertua yang dihasilkan di Pasai adalah Hikayat Raja-raja Pasai. Kitab ini ditulis setelah kerajaan ini ditaklukkan oleh Majapahit pada tahun 1365 (Ibrahim Alfian 1999:52). Dilihat dari sudut corak bahasa Melayu dan aksara yang digunakan, karya ini rampung dikerjakan pada waktu bahasa Melayu telah benar-benar mengalami proses islamisasi dan aksara Jawi, yaitu aksara Arab yang dimelayukan, telah mulai mantap dan luas digunakan. Selanjutnya bahasa Melayu Pasai dan aksara Jawi inilah yang digunakan oleh para penulis Muslim di Nusantara, sehingga pada akhir abad ke-19M digunakan sebagai bahasa pergaulan utama di bidang intelektual sebagaimana di bidang perdagangan dan administrasi (Collin 1992).
            Hikayat yang ada di Samudra Pasai adalah saduran beberapa hikayat Parsi, seperti Hikayat Muhammad Ali Hanafiya, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Bayan Budiman dan lain-lain. Dua hikayat yang pertama adalah cerita kepahlawanan (epos) yang didasarkan atas sejarah kepahlawanan Islam pada periode awal penyebaran agama ini. Dalam Sejarah Melayu (1607 M) Tun Sri Lanang menyebutkan bahwa dua hikayat ini sangat digemari di Malaka pada akhir abad ke-15 M dan orang-orang Malaka membacanya untuk membangkitkan semangat perang mereka melawan Portugis. Tun Sri Lanang juga menyebutkan kegemaran orang-orang Malaka dan sultan mereka terhadap tasawuf. Sebuah kitab tasawuf Durr al-Manzum karangan Maulana Abu Ishaq telah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Abdullah Patakan, seorang ulama terkenal dari Pasai, memenuhi permintaaan Mansur Syah, Sultan Malaka pertengahan abad ke-15 M (Ibrahim Alfian 1999:53).
Adapun Hikayat Budiman, merupakan cerita berbingkai termasuk ke dalam jenis pelipur lara seperti Kisah Seribu Satu Malam. Karya Islam lain yang sangat populer ialah Qasidah al-Burdah, untaian puisi-puisi pujian kepada Nabi Muhammad SAW yang biasa dinyanyikan secara bersama dalam perayaan Maulid Nabi. Kitab ini dikarang oleh Syekh al-Busiri, seorang penyair sufi Mesir abad ke-13 M dan telah diterjemahkan pula ke dalam bahasa Melayu pada abad ke-15 M. Dalam kitabnya Tuhfat al-Mujahidin, sejarawan Muslim abad ke-15 M Zainuddin al-Ma`bari yang pernah berkunjung ke Sumatra mengatakan bahwa para pendakwah Islam menjalankan dakwahnya dengan menuturkan cerita-cerita sekitar kehidupan dan perjuangan Nabi Muhamad dan hasilnya sangat efektif (Ismail Hamid 1983:27).
Setelah Pasai mengalami kemunduran, pusat kegiatan kebudayaan dan penyebaran agama Islam pindah ke Malaka (1400-1511 M) dan setelah Malaka ditalukkan Portugis maka pusat kebudayaan dan penyebaran agama Islam pindah pula ke Aceh Darussalam (1516-1700 M).
            Dari kenyataan itu pula kita mengetahui bahwa sejak awal terdapat beberapa jenis sastra yang digemari, yaitu karya bercorak sejarah, cerita nabi-nabi, khususnya kisah di sekitar kehidupan dan perjuangan Nabi Muhammad s.a.w., cerita berbingkai yang berfungsi sebagai pelipr lara dan sekaligus media pengajaran budi pekerti. Juga dari kenyataan tersebut kita mengetahui bahwa tasawuf sangat mempengaruhi jiwa kaum terpelajar Muslim Melayu.
2.3.2 Gelombang Kedua  (ZamanPeralihan)
            Zaman peralihan, yang ditandai dengan penyalinan dan penggubahan kembali karya-karya zaman Hindu-Buddha dengan diberi suasana dan nafas Islam. Ciri-ciri karya zaman peralihan ini sangat menarik, karena unsur-unsur Islam yang dimunculkan pada mulanya tidaklah begitu ketara. Allah Ta`ala misalnya pada mulanya disebut Dewata Mulia Raya, kemudian diganti Raja Syah Alam dan baru kemudian disebut Allah Subhana wa Ta`ala. Sebutan Yang Mulia Raya, Raja Syah Alam dan lain-lain tampak misalnya pada syair-syair tasawuf Hamzah Fansuri dan murid-muridnya pada abad ke-16 dan 17 M. Demikian pula tokoh-tokoh cerita mulai diberi nama-nama Islam. Peranan dewa-dewa diganti dengan jin, mambang, peri dan makhluq halus lain. Tidak jarang pula tempat terjadinya cerita dipindah ke negeri yang rajanya telah memeluk agama Islam. Dan raja tersebut dikisahkan memperoleh kemenangan karena percaya terhadap kekuasaan Yang Satu.
            Cerita-cerita zaman Hindu yang disadur atau digubah kembali pada umumnya adalah cerita-cerita yang termasuk jenis pelipur lara, terutama jenis kisah cinta dan petualangan yang dibumbui peperangan antara tokoh yang berpihak pada kebanaran menentang raja kafir yang zalim. Lambat laun kisah-kisah ini ditransformasi menjadi alegori atau kisah-kisah perumpamaan sufi. Contoh yang masyhur ialah Hikayat Syah Mardan, sebuah alegori sufi yang ditulis berdasarkan sebuah cerita dari India yang mirip dengan cerita Anglingdarma yang populer di Jawa. Pengembaraan tokohnya Syah Mardan dan peperangan yang dilakukan melawan musuh-musuhnya, dirubah fungsinya, yaitu untuk menerangkan tahapan-tahapan keruhanian (maqam) yang harus ditempuh seorang pencari Tuhan dalam tasawuf atau ilmu suluk. Jika diringkas maqam-maqam tersebut mencakup: (1) Mujahadah, perjuangan menundukkan diri atau nafsu rendah yang menguasai diri; (2)Musyahadah, penyaksian keesaan Yang Satu secara intuitif atau kalbiah; (3) Mukasyafah, tersingkapnya hijab yang menutupi penglihatan batin. Cerita Dewa Ruci, yang digubah berdasarkan cerita Islam Parsi Hikayat Iskandar Zulkarnain.Tokoh Iskandar diganti Bima, dan Nabi Khaidir diganti dengan Dewa Ruci. Motif pencarian air hayat(ma`al-hayat) dalam kisah itu pula, adalah perlambang bagi pencarian makrifatatau pengetahuan ketuhanan yang menyebabkan seseorang kekal (baqa’) di dalam Yang Abadi, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
            Memang pada masa ini pengaruh tasawuf dan sastra Parsi sangat dominan dalam semua aspek kebudayaan Islam. Susunan bab-bab dalam hikayat dan kitab-kitab tasawuf juga ditiru dari model yang terdapat dalam sastra Parsi. Contoh terbaik dari karya-karya yang demikian ialah Hikayat Si Miskin, Hikayat Nakhoda Muda, Hikayat Ahmad Muhamad, Hikyat Berma Syahdan, Hikayat Indraputra dan Hikayat Syah Mardan. Begitu pula Kitab Taj al-Salatin (Mahkota Raja-raja) yang ditulis oleh Bukhari al-Jauhari di Aceh pada awal abad ke-17, penyusunan bab-babnya ditiru dari kitab-kitab Parsi yang membicarakan masalah etika dan pemerintahan.
Suluk-suluk dan risalah tasawuf Sunan Bonang yang ditulis antara akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16 M. Sunan Bonang alias Makhdum Ibrahim adalah seorang wali sufi di pulau Jawa yang sangat prolifik dalam dunia penulisan. Dia hidup antara pertengahan abad ke-15 sampai awal abad ke-16 M, bersamaan dengan mundurnya kerajaan Hindu besar terakhir Majapahit dan bangunya kesultanan Demak, kerajaan Islam pertama di pulau Jawa. Dia pernah belajar di Malaka dan Pasai. Karya-karyanya benar-benar mencerminkan zaman peralihan dari Hindu ke Islam yang berlaku di Nusantara.
Karya-karya Sunan Bonang pada umumnya berupa suluk, yaitu puisi-puisi dalam bentuk tembang Jawa yang memaparkan jalan keruhanian dalamilmu tasawuf, dengan menggunakan perlambang-perlambang atau tamsil. Di antara suluk-suluknya ialah Suluk Khalifah, Suluk Kaderesan, Suluk Regol, Suluk Bentur, Suluk Wujil, Suluk Wasiyat, Gita Suluk Latri dan lain-lain. Dia juga menulis risalah tasawuf dalam bentuk dialog antara seorang guru sufi dan muridnya. Salah satu versi dari risalah tasawufnya itu telah ditransliterasi dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Drewes (1969) di bawah judul The Admonitions of Seh Bari (“Pitutur Syekh Bari”). Di antara ciri-ciri karya zaman peralihan :
1.Karya sastra, sebagaimana wacana keagamaan dan intelektual lain, dianggap    sebagai suluk, yaitu jalan keruhanian menuju Kebenaran Tertinggi.
2.Wawasan estetika yang dijadikan asas penciptaan karya sastra didasarkan atas metafisika atau kosmologi Islam yang dikembangkan para sufi Arab dan Parsi abad ke-12 dan 13 M seperti Ibn `Arabi, Imam al-Ghazali dan Jalaluddin al-Rumi. Mengikuti sistem metafisika sufi, yang membagi alam kewujudan jadi empat, realitas dan tatanan keindahan atau kebenaran yang disajikan dalam karya juga terdiri dari empat lapis yang tersusun secara hirarkis. Empat alam atau tatanan wujud itu dari atas ke bawah ialah Alam Ketuhanan (alam lahut), Alam Keruhanian (alam jabarut), Alam Kejiwaan (alam malakut) dan Alam Jasmani (alam nasut).
3.Unsur budaya lokal dipertahankan dan diintegrasikan ke dalam sistem nilai Islam. Misalnya seorang ahli makrifat disebut mahayogi, sedangkan di dalam kitab Melayu disebut pendeta. Baru kata-kata Syekh dan faqir digunakan. Untuk menerangkan hubungan Yang Satu dengan ‘yang banyak’, digunakan hubungan antara dalang, wayang dan kelir wayang.
4. Tamsil-tamsil erotis (percintaan) mulai sering digunakan untuk menggambarkan pengalaman cinta transendental (`ishq) seorangsalik (penempuh jalan ruhani) dalam menjumpai Kekasihnya,Yang Satu.
2.3.3 Gelombang Ketiga
            Akhir abad ke-16 M dan awal abad ke-17 M, bersamaan dengan berkembangnya kesultanan Aceh Darussalam sebagai kerajaan besar yang berpengaruh di Asia Tenggara, gelombang kedua pemikiran Islam bermula dalam arti sesungguhnya. Pada masa ini islamisasi realitas benar-benar dijalankan secara penuh dan Islam dipakai sebagai cermin untuk melihat dan memahami realitas kehidupan dalam hampir seluruh aspeknya. Dua gejala dominan yang saling berhubungan muncul pada masa ini, yaitu kecenderungan melahirkan renungan-renungan tasawuf dalam mempersoalkan hubungan manusia dengan Yang Abadi, dan perumusan sistem kekuasaan yang memunculkan kitab tentang teori kenegaraan (Taufik Abdullah 2002). Pada masa inilah muncul tokoh-tokoh besar di bidang keagamaan dan sastra yang pemikirannya mewarnai dan menentukan perkembangan intelektual Islam padamasa sesudahnya.
            Mewakili gejala dominan pertama adalah Hamzah Fansuri dan Syamsudin Sumatrani (disebut juga Syamsudin Pasai) bersama murid-muridnya pada akhir abad ke-6 dan awal abad ke-17 M. Mewakili gejala kedua ialah Bukhari al-Jauhari dan Nuruddin al-Raniri, yang muncul secara berurutan pada paruh pertama abad ke-17 M, ketika Aceh mencapai puncak kejayaannya sebagai pusat keagamaan, kebudayaan dan kegiatan politik Islam. Pada masa inilah kitab-kitab keagamaan – fiqih, teologi dan tasawuf – untuk pertama kalinya ditulis secara sistematis, filosofis dan ilmiah. Begitu pula pada masa inilah untuk pertama kalinya dilahirkan puisi-puisi keagamaan, khususnya syair-syair tasawuf, yang benar-benar ekspresif dan membangkitkan kesadaran diri baru. Melalui karya-karya para sufi dan ulama Aceh abad ke-17 M inilah Islam dimaklumkan sebagai bagian dari ’diri yang sah’ dan bagian dari ’sejarah Nusantara’ yang sah pula. Seperti dikatakan Taufik Abdullah, ”Dalam gelombang kedua ini, teori kekuasaan yang bertolak dari pendekatan sufistik mulai dirumuskan. ’Negara’ tidak lagi sekadar refelksi dari kedirian sang raja tetapi juga pranata yang merupakan wadah bagi terwujudnya kesatuan yang harmonis antara ’raja’ dan ’rakyat’, dan antara makhluq dan Khaliq” (Ibid).
            Risalah tasawuf  Syekh al-Fansuri yang dijumpai ada tiga, yaitu Syarab al-`Asyiqin (Minuman Orang Berahi), Asrar al-`Arifin (Rahasia Ahli Makrifat) dan al-Muntahi. Kitabnya Syarab al-Asyiqin oleh al-Attas (1970) dianggap sebagai karyanya yang pertama. Di samping itu ia dianggap pula sebagai risalah keilmuan pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu baru. Versinya yang lain diberi judul Zinat al-Muwahhidin (Perhiasan Ahli Tauhid). Sedangkan syair-syair tasawufnya yang dijumpai tidak kurang dari 32 ikat-ikatan atau untaian[1]. Syair-syairnya dianggap sebagai ’syair Melayu’ pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu, yaitu sajak empat baris dengan pola bunyi akhir AAAA pada setiap barisnya (al-Attas 1968; Braginsky 1991 dan 1992). Syamsudin al-Sumatrani (w. 1630 M) menyebut sajak-sajak tersebut sebagai ruba’i, yaitu sajak empat baris dengan dua misra’ (Ali Hasymi 1975)
Ciri-ciri penting syair - syair Hamzah Fansuri ialah :
1.      Pemakaian penanda kepengarangan seperti faqir, anak dagang, anak jamu, `asyiq dan lain-lain, yang kesemuanya ditransformasikan dari gagasan sufi tentang peringkat rohani (maqam) tertinggi di jalan kerohanian atau ilmu suluk.
2.      Banyak petikan ayat al-Qur’an, Hadis, pepatah dan kata-kata Arab, yang beberapa di antaranya telah lama dijadikan metafora, istilah dan citraan konseptual penulis-penulis sufi Arab dan Parsi.
3.      Dalam setiap bait terakhir ikat - ikatan syairnya sang sufi selalu mencantumkan nama diri dan takhallus-nya, yaitu nama julukannya yang biasanya didasarkan pada nama tempat kelahiran penyair atau kota di mana dia dibesarkan. Di situ penyair juga mengungkapkan tingkat dan pengalaman kesufianyang dicapainya. Di sini penyair benar-benar menekankan pentingnya individualitas dalam penciptaan puisi (Teeuw 1994; Abdul Hadi W. M. 2001: 136-146).
4.      Penggunaan tamsil dan citraan-citraan simbolik atau konseptual yang biasa digunakan penyair-penyair sufi Arab dan Persia dalam melukiskan pengalaman dan gagasan kesufian mereka berkenaan dengan cinta, kemabukan mistikal, fana’, makrifat, tatanan wujud dan lain-lain.
5.      Karena paduan yang seimbang antara diksi (pilihan kata), rima dan unsur-unsur puitik lainnya, syair-syair Hamzah Fansuri menciptakan suasana ekstase (wajd) dalam pembacaannya, tidak kurang seperti suasana yang tercipta pada saat para sufi melakukan wirid, zikir dan sama’, yaitu konser musik kerohanian yang disertai dengan zikir, nyanyian dan pembacaan sajak.
2.4 Masjid dan Peradaban Umat Islam
Masjid berasal dari kata Sujudan, Sajada, Masjidu, Masjid yang berarti tempat untuk sujud. Masjid yaitu suatu bangunan yg didirikan secara khusus untuk beribadah kepada Allah ( terutama Sholat ). Masjid didirikan berdasarkan jiwa Tauhid dan sebagai serminan rasa Mahabah (Cinta-kasih). ( Ensiklopedi Islam: Vol.8. Jakarta:PT Ikhtiar Baru,1994, hlm.169)
Peradaban adalah untuk menyebut unsur Kebudayaan yg dianggap “halus- indah- dan maju”. Seperti Ilmu Pengetahuan & Teknologi, adat-istiadat, moral, kesenian, gaya tulisan-bangunan, sikap sopan-santun, pemeritahan, kesehatan dsb.*  V.Gordon Child tentang ciri-ciri Peradaban: Ilmu Pengetahuan & Teknologi, Spesialisasi Pekerjaan atau Profesi, Adanya herarchi sosial, Kelembagaan yang berkembang ( seperti : pendi- dikan, politik, moral, ekonomi, militer, kesehatan, dan sebagainya. ( Ensiklopedi Nasional Indonesia,Vol.13. Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1980, hlm. 2.)
Dulu Masjid bukan hanya tempat untuk menjalankan salat dan ritual – ritual agama lainnya, namun Masjid menjadi tempat penyebaran agama islam, tempat berlangsungnya proses kegiatan belajar mengajar, tempat dimana Nabi Muhammad mengader pemuda. Masjid juga dijadikan sebagai tepat memotivasi agar sahabat – sahabat hidup sejahtera dan berkecukupan oleh Nabi Muhammad. Untuk itu Nabi Muhammad meminta umat islam agar memakurkan Masjid dan menjadikannya sebagai pusat peradaban. Masjid meiliki peran yang sangat penting dalam sejarah peradaban umat islam. Masjid juga menjadi penanda penyebaran islam seperti Masjid Quba yang dibangun Nabi Muhammad di tengah – tengah beliau hijrah ke Madinah. Sesampai di Madinah Nabi membangun Masjid Nabawi. Begitupun dengan apa yang dilakukan para Wali dan Ulama, ereka membangun Masjid dimanapun mereka mendakwahkan islam.
Kehidupan sehari – hari umat islam terkait erat dengan Masjid yang didirikan atas dasar iman. Penampilan dan manajemen Masjid bisa memmberi gambaran tentang hubungan Masjid dengan sumber daya manusia disekelilingnya. Manajemen Masjid harus dilaksanakan sebagai pengamalan dan hubungan manusia dengan Allah SWT. Dan hubungan hubungan manusia dengan manusia lain, Q.S Ali Imron:122 “Mereka akan ditimpa kehinaan dimana saja mereka berada, kecuali kalau mereka tetap enjaga hubungannya dengan Allah dan menjaga hubungannya dengan manusia.
Kualitas sumber daya manusia yang merupakan pengamalan ilmu dapat tergambar dala bentuk bangunan (arsitektur) dan manajemen dari sebuah Masjid sebagaimana telah diketahui bahwa arsitektur sebuah bangunan Masjid mepunyai hubungan dengan perkembangan budaya. Sedangkan budaya itu sendiri merupakan hasil dari rekayasa manusia. Dalam arti kata bahwa kebudayaan itu adalah hasil upaya (rekayasa) dala keseluruhan ilu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia. Perkembangan ilmu pengetahuan itu terkait erat dengan ruang dan waktu tertentu. Oleh karena itulah maka kebudayaan itu merupakan gambaran dari perkebangan intelektual manusia yang sangat dipengaruhi oleh nalar dalam ruang dan waktu tertntu, sebagai ilustrasi antara iman (agama) dengan lingkungan.          
Fungsi Masjid Sebagai Pusat Peradaban Islam :
Fungsi pokok masjid adalah sebagai  tempat sholat jamaah. Fungsi masjid sebagai kelembagaan  adalah untuk membangun manusia secara menyeluruh dalam rangka membangun manusia yang utuh dan beradab. Pada zaman Nabi Muhammad Saw. dari Masjid berhasil mengubah dari “Masyarakat Jahiliah (yang biadab), menjadi Masyarakat Tamaduniyah (yang ber-peradabaN).
MASJID KUBA’
Masjid Kuba’  tempat awal pembentuk- an Khaira Ummah,  sebagai modal dasar pembentukan masyarakat Islam. Konsep Masyarakat Madani dilakukan:
1. Pembentukan keluarga sakinah, berlandaskan rasa aman, kesejahteraan dan harmonisasi, yang terbebas dari berbagai bentuk ancaman, kegelisahan, hidup saling curiga dan ketidak amanan, kehidupan yang menentramkan, yang didalamnya sarat akan keselamatan, perdamaian, toleransi, harmonisasi, cinta kasih dan persaudaraan.
2. Pembentukan masyarakat Marhamah, yakni masyarakat yang meiliki kasih sayang.
3. Pembentukan Negara Baldah Toyyibah, penuh keberkahan, kesuksesan, kemakmuran, kedamaian, dan juga kebahagiaan.
Masjid di Zaman Nabi
1. Fungsi utama sebagai tempat sholat berjama’ah
2. Tholabul Ilmy ( pendidikan )
3. Baitul Mal (kas negara)
4. Mahkamah Pengadilan
5. Menemui  tamu kenegaraan
6. Mengatur siyasah / kenegaraan
7. Permusyawaratan
8. Kesehatan, dan lain sebagainya.
Peradaban islam tumbuh dan berkem- bang mulai dari Masjid kemudian mekar ke seluruh masyarakat desa-kota-negara- dan jagad raya. Persaudaraan islam diharapkan tumbuh dan berkembang dari Masjid, hingga akrab bersobat. Alangkah mulianya para takmir Masjid yang beramal menjadi khodamul masjid.
Kupat = Laku Papat
1. Silaturahim antar Takmir Masjid
2. Peningkatan dana Masjid
3. Penelitian – Muhasabah & Program
4. Menjalin Kerja-sama yg bermanfaat
Untuk kenyamanan jama’ah, menebar rahmat Allah swt. dan mencipta kemaslahatan umat.



loading...

Perbedaan Dan Kesamaan Paham Firqah-Firqah

- No comments

Aliran atau Sekte atau Firqah ini adalah golongan yang muncul karena adanya faktor perbedaan pokok-pokok aqidah dan keimanan, sehingga dalam kategori sekte ini, yang wajib kita ikuti adalah Firqah Ahli Sunnah Wal Jama’ah dengan ciri umum; menyandarkan pemahaman aqidah dan pokok-pokok keislaman dan keimanan mereka terhadap Al-Quran, dan Sunnah berdasarkan pemahaman para salaf dari kalangan sahabat, tabiin, ataupun para ulama islam yang meniti jalan dan metode ajaran mereka dari zaman kezaman. Adapun selainnya seperti Khawarij, Mu’tazilah, Bahaiyah, Syiah, Qadariyah, Ahmadiyah, atau aliran-aliran aqidah lainnya, maka tidak boleh diikuti. Karena satu-satunya aliran atau sekte yang benar dan selamat hanyalah Ahli Sunnah Wal-Jama’ah. Ini sesuai sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam:
إن بني إسرائيل تفرقت على ثنتين وسبعين ملة وتفترق أمتي على ثلاث وسبعين ملة كلهم في النار إلا ملة واحدة قالوا ومن هي يا رسول الله قال ما أنا عليه وأصحابي
Artinya: “sungguh Bani Israil itu telah terpecah menjadi tujuh puluh dua agama (aliran), dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga agama, semuanya masuk neraka kecuali satu agama.” Para sahabat bertanya: agama apa itu wahai Rasulullah?, Beliau menjawab: “Apa yang aku dan para sahabatku berpijak di atasnya.” (HR Tirmidzi: 2641, dan beliau menilainya hasan)
Juga bersabda:
إن أهل الكتابين افترقوا فى دينهم على ثنتين وسبعين ملة وإن هذه الأمة ستفترق على ثلاث وسبعين ملة وكلها فى النار إلا واحدة وهى الجماعة
Artinya: “Dua golongan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) telah terpecah dalam agama mereka menjadi tujuh puluh dua agama (aliran), dan sungguh umat ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga aliran, semuanya masuk neraka kecuali satu, yaitu (yang berpegangteguh pada) jama’ah.” (HR. Ahmad, Ath-Thobaroni, dan Al-Hakim)
Maksud dari 72 golongan atau sekte yang disebutkan dalam hadis ini adalah sekte atau aliran yang muncul karena faktor perbedaan pokok-pokok aqidah dan keimanan yang menyelisihi Ahli Sunnah wal Jama’ah, seperti yang disebutkan diatas. Juga perlu kita ketahui bersama bahwa dalam islam terdapat golongan atau kelompok yang muncul karena adanya faktor perbedaan ijtihad / perbedaan pendapat dalam perkara furu’iyah (cabang-cabang permasalahan agama); termasuk fiqh, atau bidang-bidang ilmu islam lainnya yang tidak termasuk dalam ranah aqidah dan pokok-pokok iman. Golongan seperti ini tidak dikatakan sebagai sekte atau aliran atau firqah, namun diistilahkan sebagai Madzhab. Dari sinilah muncul madzhab-madzhab islam yang kita kenal seperti Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Mengikuti salah satu madzhab yang empat ini dibolehkan sesuai ijma’ / kesepakatan para ulama islam, dengan syarat tidak fanatik buta atau menyesatkan orang lain yang berbeda madzhab dengannya. Dalam firqah-firqah Islam terdapat beberapa pendapat yang berbeda meliputi :


1. Status mukmin dan kafir
Ada perbedaan antara berbagai firqah tentang status mukmin dan kafir.
Menurut Ahlussunnah, seseorang disebut mukmin jika ia beriman kepada keenam rukun iman. Keimanan tersebut tidak hilang meskipun dia melakukan dosa besar. Mukmin yang melakukan dosa besar dan mati sebelum bertaubat statusnya tetap menjadi mukmin, tetapi mukmin yang berdosa. Kelak dia akan dimasukkan ke dalam neraka, setelah hukumannya sesuai dengan dosa yang telah dilakukannya, ia bisa masuk ke surga.
Golongan Khawarij berpendapat bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir, dalam arti keluar dari Islam atau tegasnya murtad sehingga ia wajib dibunuh.
Golongan Murji’ah berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap masih mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang telah dilakukannya terserah kepada Allah untuk mengampuninya atau tidak mengampuninya.
Golongan Muktazilah tidak menerima kedua pendapat di atas. Bagi mereka orang yang berdosa besar bukan kafir tetapi juga bukan mukmin. Orang yang serupa ini menurut mereka mengambil posisi di antara kedua posisi mukmin dan kafir yang di dalam bahasa Arabnya dikenal dengan posisi manzilah bainal manzilatain (posisi di antara dua posisi).Golongan Muktazilah berbeda pendapat dengan golongan Asy’ariyah. Menurut Mu’tazilah, mukmin yang berdosa dan mati sebelum bertaubat dikategorikan sebagai orang yang fasik. Tempatnya kelak tidak di surga dan tidak pula di neraka, melainkan di satu tempat di antara surga dan neraka atau yang biasa disebut dengan manzilah bainal manzilatain.
Kebaikan dan keburukan
Dalam pendapat firqoh-firqoh tersebut juga ada beberapa pendapat yang berbeda.
Menurut Ahlussunnah, baik buruknya seseorang tergantung dari iman dan usahanya yang menjauhi larangan Allah SWT.
Golongan khawarij berpendapat bahwa hamba yang baik haruslah tetap dijalan Allah SWT. sekali dia berbuat keburukan makan dia menjadi kafir dan boleh di bunuh.
Golongan murji’ah berpendapat baik buruknya seseorang tergantung dengan takdir dan kehendak Allah SWT.
Golongan muktazilah berpendapat bahwa baik buruknya seseorang tergantung dari dirinya sendiri
Ikhtiar manusia
 Ada perbedaan di antara berbagai firqah seputar ikhtiar manusia. Hal ini disebabkan karena perbedaan pemahaman mereka terhadap takdir sebagaimana terdapat di sejumlah ayat Al-Qur’an. Golongan Qadariyah berpendapat bahwa ikhtiar manusia itu bersifat mutlak. Artinya, nasib manusia ditentukan sendiri oleh ikhtiarnya. Allah tidak turut campur dalam hal itu. Baik dan buruk itu adalah semata-mata pilihan dan kehendak manusia. Golongan Mu’tazilah pun berpendapat serupa. Ada banyak dalil yang mereka ajukan, diantaranya firman Allah:
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS Ar Ra’du: 11)
 Golongan Jabbariyah berpendapat sebaliknya. Menurut mereka, segala perbuatan manusia itu telah diciptakan oleh Allah. Manusia bagaikan wayang yang selalu mengikuti lakon yang dimainkan oleh sang dalang. Atau seperti pemain sandiwara yang hanya mengikuti penulis naskah dan sutradaranya. Jadi, apapun yang dilakukan oleh manusia, tidak pernah terlepas dari apa yang telah ditakdirkan oleh Allah. Surga dan nerakanya telah ditentukan sejak zaman azali. Manusia tidak pernah bisa mengubah takdir. Mereka (golongan Jabbariyah) pun mengajukan banyak argumen, di antaranya adalah firman Allah:
وَٱللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
Artinya: “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (QS Ash-Shaffat: 96)
 Jadi, menurut golongan ini, semua perbuatan manusia sudah diciptakaan oleh Allah, manusia hanya menjalankan takdir Allah saja. Jika manusia mencuri, maka itu memang sudah ditakdirkan oleh Allah. Surga dan neraka semua sudah ditakdirkan oleh Allah. Pokoknya kita tinggal menjalankan takdir itu saja. Golongan Ahlussunnah berpendapat lain. Menurut mereka, Allah memang menakdirkan hidup manusia. Akan tetapi, manusia memiliki bagian usaha atau yang disebut dengan kasb. Jadi, Ahlussunnah Waljama’ah tidak sepakat dengan golongan Qadariyah yang menafikan Allah dalam perbuatannya dan juga tidak sepakat dengan golongan Jabbariyah yang berpendapat bahwa manusia itu dipaksa oleh Allah dalam segala perbuatannya tanpa adanya kemampuan untuk berusaha.
Kekuasaan Allah SWT.
Ahli Sunnah wal Jama’ah menjadikan Kitabullah dan wahyu dari-Nya sebagai landasan utama dalam menetapkan ‘aqidah dan dalam pengambilan dalil.
Firqah Khawarij, sesungguhnya mengagungkan al Qur`an dan berkeinginan mengikuti kandungannya. Akan tetapi, jika melihat keberadaan mereka, ternyata sangat jauh dari angan-angan. Mereka tidak mengaplikasikannya.
Golongan Murji’ah, Murji’ah juga menduhulukan akal ketimbang nash (naql). Menurut mereka, akal menjadi sumber untuk mengetahui dalam masalah ‘aqidah. Ringkasnya, mereka menggantungkan kepada apa yang dihasilkan oleh akal pikiran, dan antipati dengan al Qur`an dan Sunnah. Atau memaksakan al Qur`an dan Sunnah untuk tunduk dengan argumentasi yang mereka bawa.
Golongan Muktazilah kalangan Qadariyah memasukkan al Qur`an sebagai bagian dari dalil-dalil prinsip mereka. Hanya saja, mereka memandang kepastian hukum dan petunjuk yang akurat, lebih menggunakan akal.
Sifat Allah SWT.
 Menurut Asy’ariyah, Allah mempunyai sifat-sifat. Allah hidup dengan hayat, mendengar dengan sama’, mengetahui dengan ilm, dan berkuasa dengan qudrah. Sifat-sifat itu melekat pada Dzat-Nya dan tidak dapat dipisahkan. Bagi Asy’ari, sifat-sifat Allah tidak identik dengan Dzat-Nya. Karena Allah bersifat qadim, berarti sifat-sifat Allah juga ‘azali dan qadim. Dalam memandang masalah sifat-sifat Allah ini, pendapat kaum Asy’ariah bertentangan dengan pendapat Mu’tazilah. Dalam pandangan Mu’tazilah, Tuhan tidak mempunyai sifat. Demikian kata Al-Juba’i. Sebab menurutnya, apa yang disebut dengan sifat itu pada dasarnya adalah esensi Dzat-Nya. Hudzail (tokoh Mu’tazilah) berpendapat bahwa Allah mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan adalah Dzat-Nya. Tuhan berkuasa dengan Dzat-Nya dan kekuasaan itu adalah Dzat-Nya Pendapat Mu’tazilah di atas ditentang oleh Asy’ariyah. Menurutnya, tidak mungkin Allah mengetahui dengan pengetahuan-Nya, melihat dengan penglihatan-Nya. Sebab, jika demikian Allah itu sama dengan pengetahuan, penglihatan, dan sebagainya.

loading...



Sejarah Terbentuknya Firqah – Firqah Dalam Islam

- No comments
     
        Sesudah terbunuhnya khalifah usman bin affan sebagian maembaiat ali sebagai kholifah . Hal ini dikarenakan ali adalah salah satu dari enam calon yang tunjuk oleh kholifah umar sebelum wafat dan memperoleh suara yang sama dengan utsman . Sayangnya , orang orang yang terlibat dalam pembunuhan utsman juga ikut berbaiat terhadap kholifah ali .hal ini menimbulkan fitnah dikalangan sebagian sahabat . Apalagi sebagian sahabat menghendaki para pelaku pembunuhan khalifah utsaman dan diadili sebelum pembaiatan kholifah yang baru.
Legitimasi kekholifahan ali tidak mencapai seratus persen dari umat islam saat itu. Hal ini digunakan oleh orang – orang yang tidak  menginginkan persatuan umat islam untuk memecah belah umat hingga terjadilah perang jamal (perang unta). Parang Jamal adalah perang antara Sayyidina Ali karramallahu wajhah dengan Sayyidatina Aisyah ummul mukminin radliyallahu ‘anha. Disebut dengan perang Jamal karena Aisyah mengendarai Unta.
Selain perang Jamal, ada pula Perang Siffin. Perang Siffin adalah perang antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan pasukan Mu’awiyyah. Dalam Perang Siffin tersebut pasukan Ali hampir memenangkan peperangan. Akan tetapi, atas ide Amr bin Ash, pasukan Mu’awiyah kemudian mengajak melakukan tahkim (damai) dengan mengangkat mushaf. Atas desakan para qurra’, Khalifah Ali menyetujui tahkim tersebut. Lalu dilakukanlah pembicaraan oleh kedua pihak. Pihak Mu’awiyah diwakili oleh Amr bin Ash sedangkan pihak Ali diwakili oleh Abu Musa Al-Asy’ari. Hasil dari pembicaraan dari kedua kubu tersebut adalah peletakan jabatan dari masing-masing pihak, baik Ali maupun Mu’awiyah. Keduanya pun sepakat untuk mengumumkan hasil pembicaraan tersebut kepada publik. Amr bin Ash mempersilakan Abu Musa AlAsy’ari untuk berbicara terlebih dahulu dengan alasan Abu Musa AlAsy’ari lebih tua darinya. Sebagai seorang yang bertakwa dan konsisten terhadap perjanjian, Abu Musa mengumumkan peletakan kedudukan Khalifah yang dipegang oleh Ali. Ketika Amr bin Ash mendapat giliran untuk mengumumkan hasil pembicaraan, ternyata ia mengatakan yang berbeda dari kesepakatan. Karena Ali meletakkan jabatan, maka Muawiyahlah yang naik jabatan. Tentu hal ini sangat merugikan pihak Ali. Ali pun enggan melepaskan kedudukannya hingga terbunuh. Tahkim Shiffin ini menimbulkan kekecewaan besar di pihak Ali. Bahkan sebagian pengikut Ali keluar dari barisan Ali. Merekalah yang disebut Khawarij. Menurut Khawarij, baik Muawiyah maupun Ali keduanya bersalah. Muawiyah dianggap merampas kedudukan Khalifah yang dimiliki Ali sedangkan Ali bersalah karena menyetujui tahkim padahal dia di pihak yang benar. Golongan yang kedua adalah golongan Syi’ah. Golongan syi’ah adalah golongan pendukung Ali. Dan golongan yang ketiga adalah golongan Jumhur. Dari sinilah Islam pecah menjadi banyak sekte.


<BACA SELANJUTNYA>
Perbedaan Dan Kesamaan Paham Firqah-Firqah

Pergolakan firkah-firqah dalam islam

- No comments

  1. Sejarah Munculnya Firqah-Firqah dalam Islam
     Timbulnya aliran-aliran teologi Islam tidak terlepas dari fitnah-fitnah yang beredar  setelah  wafatnya  Rasulullah  Saw.  Setelah  Rasulullah  Saw  wafat  peran sebagai  kepala  Negara  digantikan  oleh  para  sahabat-sahabatnya,  yang  disebut khulafaur Rasyidin  yakni Abu  Bakar,  Umar bin  Khatab, Utsman bin Affan, dan Ali  bin Abi  Thalib.  Namun,  ketika  pada  masa  Utsman  bin Affan  mulai  timbul adanya  perpecahan  antara  umat  Islam  yang  disebabkan  oleh  banyaknya  fitnah yang timbul pada masa itu. Sejarah mencatat, akibat dari banyaknya fitnah yang timbulkan pada masa itu menyebabkan perpecahan pada umat Islam, dari masalah politik sampai pada masalah  teologis.
    Awal mula perpecahan bisa kita simak sejak kematian Utsman bin Affan r.a.  Ahli  sejarah  menggambarkan  Usman  sebagai  orang  yang  lemah  dan  tak sanggup  menentang  ambisi  keluarganya  yang  kaya  dan  berpengaruh  itu  untuk menjadi gubernur. Tindakan-tindakan yang dijalankan Usman ini mengakibatkan reaksi  yang  tidak  menguntungkan  bagi  dirinya.  Sahabat-sahabat  nabi  setelah melihat   tindakan   Usman   ini   mulai   meninggalkan   khalifah   yang   ketiga   ini. Perasaan tidak senang akan kondisi ini mengakibatkan terjadinya pemberontakan, seperti  adanya  lima  ratus  pemberontak  berkumpul  dan  kemudian  bergerak  ke Madinah.  Perkembangan  suasana  di  Madinah  ini  membawa  pada  pembunuhan Usman oleh pemuka-pemuka pemberontak di Mesir ini.
    Setelah Usman wafat Ali sebagai calon terkuat menjadi khalifah keempat. Tetapi  segera  ia  mendapat  tantangan  dari  pemuka-pemuka  yang   ingin  pula menjadi  khalifah,  terutama  Talhah  dan  Zubeir  dari  Mekkah  yang  mendapat sokongan  dari  Aisyah.  Tantangan  ini  dapat  dipatahkan  Ali  dalam  pertempuran yang  terjadi  di  Irak  tahun  656  M. Talhah  dan  Zubeir  mati  terbunuh  dan Aisyah dikirim kembali ke Mekkah.[1]
    Tantangan kedua datang dari Muawiyah, Gubernur Damaskus dan keluarga dekat Usman. Ia menuntut Ali supaya menghukum pembunuh- pembunuh  Usman,  bahkan  ia  menuduh  bahwa  Ali  turut  campur  dalam  soal pembunuhan  itu.  Dalam  pertempuran  yang  terjadi  antara  kedua  golongan  ini  di Siffin,  tentara Ali  mendesak  tentara  Muawiyah  sehingga  yang  tersebut  akhir  ini bersiap-siap  untuk  lari.  Tetapi  tangan  kanan  Muawiyah  Amr  Ibn  al-As  yang terkenal sebagai orang licik minta berdamai dengan mengangkat al-Quran keatas. Qurra atau syiah yang ada dipihak Ali mendesak Ali untuk mnerima tawaran itu dan dicarilah perdamaian dengan mengadakan arbitase. Sebagai   pengantara diangkat dua orang, yaitu Amr Ibn al-As dari pihak Muawiyah dan Abu Musa al-Asyari dari pihak Ali. Dalam pertemuan mereka, kelicikan Amr mengalahkan perasaan takwa Abu Musa. Sejarah mengatakan bahwa keduanya terdapat pemufakatan untuk  menjatuhkan  kedua pemuka yang bertentangan, Ali dan Muawiyah.Tradisi menyebutkan bahwa Abu Musa terlebih dahulu mengumumkan  kepada  orang  ramai  putusan  menjatuhkan  kedua  pemuka  yang bertentangan itu. Berlainan dengan apa yang telah disetujui, Amr mengumumkan hanya  menyutujui  penjatuhan  Ali  yang  telah  di  umumkan  Abu  Musa,  tetapi menolak penjatuhan Muawiyah. Peritiwa ini merugikan bagi Ali dan menguntungkan bagi Muawiyah. Khalifah  yang sebenarnya adalah Ali, sedangkan  Muawiyah  kedudukannya tak  lebih  dari  Gubernur  daerah  yang  tak mau tunduk kepada Ali sebagai khalifah. Dengan adanya  arbitase ini kedudukannya telah naik menjadi khalifah yang tidak  resmi.
      Sikap  Ali  yang  menerima  dan  mengadakan arbitase ini, sungguhpun dalam keadaan terpaksa, tidak disetujui oleh sebagian tentaranya. Mereka berpendapat  bahwa  hal  serupa  itu  idak  dapat  diputuskan  oleh  arbitase  manusia. Putusan hanya datang dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam al-Quran. La hukma illa lillah (tidak ada hukum selain hukum dari Allah) atau la hakama illa Allah (Tidak ada pengantar selain dari hukum Allah), menjadi semboyan mereka.
Mereka  memandang  Ali  telah  berbuat  salah,  oleh  karena  itu  mereka meninggalkan barisannya. Golongan mereka inilah dalam sejarah islam terkenal dengan nama al-Khawarij, yaitu orang yang keluar dan memisahkan diri. Karena memandang Ali bersalah dan berbuat dosa, mereka melawan Ali. Ali  sekarang  menghadapi  dua  musuh,  yaitu  Muawiyah  dan  Khawarij.karena selalu  mendapat  serangan  dari  kedua  pihak  ini Ali  terlebih  dahulu  memusatkan usahanya  untuk  menghancurkan  Khawarij.  Setelah  Khawarij  kalah  Ali  terlalu lelah   untuk   meneruskan   pertempuran   dengan   Muawiyah.   Muawiyah   tetap berkuasa di Damaskus dan setelah Ali wafat ia dengan mudah dapat memperoleh pengakuan sebagai khalifah umat Islam pada tahun 661 M.

B.     Perdebatan Teologi Firqah-Firqah Islam

Persoalan-persoalan politik yang terjadi ini akhirnya menimbulkan persoalan  teologi.  Timbullah  persoalan  siapa  yang  kafir  dan  siapa  yang  bukan kafir.  Khawarij  menganggap  Ali,  Muawiyah,  Amr  Ibn  al-As,  Abu  Musa  al- Asyari dan lain-lain yang telah menerima arbitase adalah kafir. Karena keempat pemuka  ini  dianggap  kafir  dalam  arti  telah  keluar  dari  islam,  kaum  Khawarij menganggap mereka harus dibunuh.
Lambat laun kaum Khawarij pecah menjadi beberapa sekte. Konsep kafir turut  pula  mengalami  perubahan. Yang  dipandang  kafir  bukan  lagi  hanya  orang yang tidak menentukan hukum dengan al-Quran, tetapi orang yang berbuat dosa besar juga dipandang kafir. Persoalan  orang  yang  berbuat  dosa  inilah  yang  kemudian  mempunyai pengaruh besar terhadap pertumbuhan teologi selanjutnya dalam islam.  Persoalan ini menimbulkan tiga aliran teologi, yaitu Khawarij, Murjiah, Mutazilah.
Aliran Khawarij mengatakan bahwa orang yang telah berbuat dosa besar adalah kafir, dalam arti telah keluar dari agama islam dan ia wajib dibunuh. Kaum Murjiah mengatakan bahwa orang yang telah melakukan dosa besar tetap masih mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya, terserah kepada Allah  SWT  yang  mengampuninya  atau  tidak.  Sedangkan Mutazilah  sebagai aliran  ketiga  tidak  menerima  pendapat  diatas.  Bagi  mereka  orang  yang  telah berbuat dosa besar bukan kafir tetapi bukan pula mukmin. Orang yang seperti  ini menurut  mereka  mengambil  posisi  diantara  dua  posisi  mukmin  dan  kafir  yang dalam  bahsa  arabnya  terkenal  dengan  istilah  almanzilah  bain  al-manzilitain (posisi diantara dua posisi).
Dalam  keadaan  seperti  ini  timbullah  dua  aliran  teologi  yang  terkenal dengan nama al-qadariah dan al-jabariah. Menurut   al-qadariah   manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Sebaliknya dengan al-jabariah  berpendapat  bahwa  manusia  tidak  mempunyai  kemerdekaan  dalam kehendak  dan  perbuatannya.  Manusia  dalam  tingkah  lakunya  bertindak  dengan paksaan Tuhan dan gerak-gerik ditentukan oleh Tuhan, menurut jabariah. Selanjutnya,  kaum  Mutazilah  dengan  diterjemahkannya  buku-buku  falsafat dan ilmu  pengetahuan Yunani kedalam  bahasa Arab, terpengaruh  oleh  pemakaian  rasio atau akal yang mempunyai kedudukan tinggi dalam kebudayaan Yunani klasik itu. Dengan  pemakaian rasio ini oleh kaum Mutazilah membawa mereka untuk mengambil teologi liberal, dalam   arti bahwa sungguhpun kaum Mutazilah banyak mempergunakan rasio mereka, mereka tidak meninggalkan wahyu.
Dengan penggambaran diatas sudah pasti bahwa Mutazilah lebih memilih  qadariah dibanding jabariah yang mana golongan yang percaya pada kekuatan dan kemerdekaan akal untuk berfikir. Teologi mereka yang bersifat rasional dan liberal ini  membuat  kaum intelegensia tertarik akan teologi mereka yang terdapat dalam   lingkungan pemerintahan Kerajaan Islam Abbasiah dipermulaan abad ke-9 Masehi. Khalifah al-Mamun,  putra  dari  khalifah  Harun  al-Rasyid  pada  tahun  827  M  menjadikan teologi  Mutazilah  sebagai  mazhab  yang  resmi  dianut  negara.  Karena  telah menjadi  aliran  resmi  dari  pemerintahan,  kaum  Mutazilah  mulai  bersikap  paksa dalam  menyiarkan  ajaran  mereka.  Terutama  paham  mereka  bahwa  al-Quran bersifat makhluq dalam arti diciptakan bukan bersifat qadim dalam arti kekal dan tidak diciptakan.
Aliran Mutazilah yang bersifat rasional ini menimbulkan tantangan keras dari  golongan  tradisional  Islam,  terutama  golongan  Hambali,  yaitu  pengikut- pengikut   mazhab   Ibn   Hambal. politik   menyiarkan   aliran   Mutazilah   secara kekerasan  berkurang  setelal  al-Mamun  meninggal  pada  tahun  833  M,  dan akhirnya  aliran  Mutazilah  sebagai  mazhab  resmi  dari  negara  dibatalkan  oleh khalifah  al-Mutawwakil  pada  tahun  856  M.  dengan  demikian  kaum  Mutazilah kembali kepada kadudukan mereka semula, tetapi kini mereka telah mempunyai lawan yang bukan sedikit dari kalangan umat  Islam.
Perlawanan  ini  kemudian  mengambil  bentuk  aliran  teologi  tradisional yang  disusun  oleh  Abu  al-Hasan  al-Asyari  (932  M).  Al-Asyari  sendiri  pada mulanya adalah mutazilah, tetapi kemudian  menurut riwayatnya setelah melihat dalam  mimpi  bahwa  ajaran-ajaran  Mutazilah  dicap  Nabi  Muhammad  sebagai ajaran yang sesat, al-Asyari meninggalkan ajaran tiu dan membentuk ajaran baru yang trerkenal dengan nama teologi al-Asyariah atau al-Asyairah. Disamping aliran   asyariah timbul pula di Samarkand perlawanan menentang aliran Mutazilah yang  didirikan  oleh  Abu  Mansur  Muhammad  al-Maturidi. Aliran ini  dikenal dengan  nama teologi  al-Maturidiah yang  mana tidak bersifat setradisional al-Asyariah, akan tetapi tidak pula seliberal Mutazilah.

Dengan  demikian  aliran-aliran  teologi  penting  yang  timbul  dalam  islam adalah  aliran  Khawarij,  Murjiah,  Mutazilah, Asyariah  dan  Maturidiah. Aliran Khawarij,  Murjiah,  Mutazilah  tidak  mempunyai  wujud  lagi  kecuali  dalam sejarah. Yang masih ada sampai sekarang ialah aliran Asyariah dan Maturidiah, dan  keduannya  disebut  Ahl  Sunnah  wa  al-Jamaah.  Aliran  Maturidiah  banyak dianut oleh umat Islam yang bermazhab Hanafi, sedangkan aliran Asyariah pada umumnya dipakai oleh umat Islam Sunni lainnya.

C.   Ajaran Pokok Firqah-Firqah Teologi Islam

1)   Khawarij

a.     Asal-usul dan Sejarah Khawarij
Kata  khawarij  secara  etimologi  berasal  dari  bahasa  Arab,  yaitu  kharaja yang  berarti  keluar,  muncul,  timbul  atau  memberontak.  Syahrastani  mengartikan khawarij  sebagai  kelompok  masyarakat  yang  memberontak  dan  tidak  mengakui terhadap  imam  yang  sah  dan  sudah  disepakati  oleh  kaum  muslimin,  baik  pada masa  sahabat,  pada  masa  tabiin  maupun  pada  masa  sesudahnya. Namun, menurut  Harun  Nasution  ada  pula  pendapat  yang  mengatakan  bahwa  nama khawarij  diberikan  atas  surat  an-Nisa  ayat  100  yang  didalamnya  disebutkan  : Keluar dari rumah lari kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian kaum khawarij memandang diri mereka sebagai orang yang meninggalkan rumah dari kampung halamannya untuk men gabdikan diri kepada Allah dan RasulNya.
Selain  itu  mereka  menyebut  diri  mereka  Syurah,  yang  berasal  dari  kata Yasyiri  (Menjual),  sebagaimana  disebutkan  dalam Al-Baqoroh  ayat  207  :  Ada manusia yang menjual dirinya untuk keridhaan Allah. Nama lain yang diberikan kepada mereka adalah Haruriah, dari kata harura, suatu desa didekat kufah, Irak.
Di  tempat  inilah,  mereka  yang  pada  waktu  itu  berjumlah  dua  belas  ribu  orang berkumpul  setelah  memisahkan  diri  dari Ali.  Disini  mereka  memilih  Abdullah bin abdul wahab  al-Rasyidi menjadi imam sebagai ganti dari Ali bin Abi Thalib. Dalam   pertempuran   dengan  Ali   mereka   mengalami   kekalahan   besar,   tetapi seorang khawarij bernama Abd al-Rahman Ibn Muljam dapat membunuh Ali.
Gerakan   khawarij   berpusat   di   dua   tempat.   Yaitu   di   Bathaih   yang menguasai  dan  mengontrol  kaum  khawarij  yang  berada  di  Persia  dan  sekeliling Irak.   Tokoh-tokohnya   ialah   Nafi  Bin  Azraq,   Qathar   bin   Fajaah.   Lainnya bermarkas di Arab daratan yang menguasai kaum khawarij yang berada di Yaman, Hadlaramaut, dan Thaif. Tokoh-tokohnya ialah Abu Thaluf, Najdar bin Amri, dan Abu Fudaika.

b.     Doktrin-doktrin pokok Khawarij
Diantara doktrin-doktrin pokok Khawarij adalah berikut ini:
Khalifah atau Imam harus dipilih secara bebas oleh kaum Muslimin;
Khalifah   tidak  harus  berasal  dari keturunan Arab. Siapapun  berhak menjadi khalifah apabila memenuhi syarat;
Khalifah dipilih  secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syariat Islam. Ia harus dijatuhkan bahkan dibunuh kalau melakukan kezaliman;
Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar, Umar, dan Utsman) adalah sah. Tetapi setelah  tahun  ketujuh  dari  masa  kekhalifahannya,  Utsman  r.a  dianggap telah menyeleweng;
Khalifah Ali adalah sah, tetapi setelah adanya Arbitrase, ia dianggap telah menyeleweng;
Muawaiyah  dan  Amr  bin  Ash  serta  Abu  Musa  Al-Asary  juga  telah dianggap menyeleweng dan telah menjadi kafir;
Pasukan perang jamal yang telah melawan Ali juga Kafir;
Seseorang  yang  berdosa  besar  tidak  lagi  disebut  muslim  sehingga  harus dibunuh. Yang  lebih  parah,  mereka  menganggap  bahwa  seorang  muslim dapat  menjadi  kafir  apabila  ia  tidak  mau  membunuh  muslim  lain  yang telah   dianggap   kafir   dengan   resiko   ia   menanggung   beban   harus dilenyapkan pula;
Setiap  muslim  harus  berhijrah  dan  bergabung  dengan  golongan  mereka. Bila  tidak  mau  bergabung  maka  ia  wajib  diperangi  karena  hidup  dalam dar  el-harb  (Negara  musuh),  sedang  golongan  mereka  sendiri  dianggap berada dalam dar al-islam (Negara Islam);
Seseorang harus menghindar dari pimpinan yang menyeleweng;
Adanya waad dan waid (Orang yang baik harus masuk surga, sedangkan yang jahat harus masuk kedalam neraka);
Amar maruf nahi munkar;
Memalingkan ayat-ayat al-Quran yang tampak Mutasabihat (samar);
Quran adalah makhluk;
Manusia bebas memutuskan perbuatannya, bukan dari Tuhan;
Menurut Asy-Syahrastani, mereka terpecah menjadi delapan belas subsekte, namun   sekte   yang   paling   pentingnya   adalah   Al-Muhakimah,   Al- Azariqoh,   An-Najdiyah,   Al-Baihasiyah,   Al-Ajaridah,   ats-Tsalibah,   dan   as- Shufriyah. Menurut  al-Bagdady,  seperti  yang  dikutip  Harun  Nasution  ada  dua puluh sub sekte Khawarij.
Sekte-sekte Khawarij tersebut membicarakan persoalan hukum bagi orang yang  berbuat dosa besar, apa dia masih dianggap mukmin atau dia telah menjadi kafir.  Doktrin  inilah  yang  terlihat  mendominasi  mereka,  sedangkan  doktrin- doktrin  lainnya  hanya  sebagai  penunjang  saja.  Pemikiran  subsekte  ini  bersikap praktis  daripada  teoritis  sehingga  kriteria  mukmin  dan  kafirnya  menjadi  tidak jelas.   Hal  ini  membuat  kondisi  tertentu  seseorang  yang  bias  menjadi  kafir  dan dalam waktu bersamaan menjadi seorang mukmin .

2)   Murjiah

a.     Asal-usul dan sejarah munculnya
Nama   Murjiah   berasal   dari   kata   irja   atau   arjaa   yang   bermakna penundaan,  penangguhan,  dan  pengharapan.  Memberi  harapan  dalam  artian member harapan kepada para pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan Allah Swt. Selain itu, irjaa juga bisa memiliki arti meletakkan di belakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal dan iman. Oleh karena itu, Murjiah  berarti  orang  yang  menunda  penjelasan  kedudukan  seseorang  yang bersengketa, yakni Ali dan Muawiyah  serta pasukannya  masing-masing, ke hari kiamat kelak.
Ada beberapa teori yang mengemukakan asal-usul adanya aliran Murjiah. Teori  pertama  mengatakan  bahwa  gagasan  Irjaa  atau  arja  dikembangkan  oleh sebagian  sahabat  dengan  tujuan  menjamin  persatuan  dan  kesatuan  umat  Islam ketika   terjadinya   pertikaian   politik   dan   juga   bertujuan   untuk   menghindari sektarianisme.  Diperkirakan  Murjiah  ini  muncul  bersamaan  dengan  munculnya Khawarij.
Menurut Watt, 20 tahun setelah kematian Muawiyah, dunia Islam dikoyak oleh  pertikayan  sipil. Al-Mukhtar  membawa  paham  Syiah  ke  Kufah  dari  tahun 685-687;  Ibn  Zubair  mengklaim  kekhalifahan  di  mekah  hingga  yang  berada  dibawah  kekuasaan  Islam.  Sebagai  respon  dari  keadaan  ini,  muncul  gagasan  irja atau  penangguhan  (postponenment).  Gagasan  ini  pertama  kali  digunakan  tahun 695 olleh cucu Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan bin Muhammad Al-Hanafiyah, dalam sebuah surat pendeknya. Dalam surat ini Al Hasan menunjukan sikap politiknya dengan mengatakan, Kita mengakui Abu Bakar dan Umar, tetapi menangguhkan keputusan  atas  persoalan  yang  terjadi  pada  konflik  sipil  yang  pertama  yang melibatkan  Utsman,  Ali,  dan  Zubair.    Dengan  sikap  politik  ini,  Al-Hasan mencoba   untuk   menanggulangi   perpecahan   umat   Islam.   Ia   pun   mengelak berdampingan  dengan  kelompok  Syiah  yang  terlampau  mengagungkan  Ali  dan para  pengikutnya,  serta  menjauhkan  diri  dari  Khawarij  yang  menolak  mengaki kekhalifahan  Muawiyah  dengan  alasan  bahwa  dia  adalah  keturunan  si  pendosa Utsman.
Teori lain mengatakan bahwa ketika terjadi perseteruan Ali dan Muawiyah,  dilakukan  Tahkim  atas  usulan  Amr  bin  Ash,  pengikut  Muawiyah. Kelompok Ali terpecah menjadi dua kubu, yang pro dan yang kontra. Kelompok kontra  akhirnya  keluar  dari  Ali,  yaitu  kelompok  Khawarij,  yang  memandang bahwa   keputusan   takhim   bertentangan   dengan   al-Quran.   Oleh   karena   itu, pelakunya melakukan dosa  besar dan pelakunya dapat dihukumi kafir. Pendapat ini   ditolak   oleh   sebagian   sahabat   yang   kemudian   disebut   Murjiah,   yang mengatakan bahwa pembuat dosa  besar tetaplah mukmin,  tidak kafir,  sementara dosanya diserahkan kepada Allah, apakah dia akan mengampuninya atau tidak.

b.     Doktrin-doktrin Murjiah
Menurut W. M. Watt, doktrin-doktin  Murjiah  secara  umum   sebagai berikut:
Penangguhan  keputusan  terhadap Ali dan Muawiyah  hingga Allah yang memutuskannya di hari kiamat kelak.
Penangguhan Ali untuk menduduki rangking keempat dalam peringkat al- Khalifah ar-Rasyidun.
Pemberian  harapan  terhadap  orang  muslim  yang  berdosa  besar  untuk mendapat ampunan dan rahmat dari Allah Swt.
Doktrin-doktrin  Murjiah  menyerupai  pengajaran  (mazdhab)  para  skeptik dan empiris dari kalangan Helenis.
Sementara  Abu  Ala  al  Maududi  menyebutkan  dua  ajaran  paling  pokok Murjiah, yaitu :
Iman adalah percaya kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Adapun amal dan perbuatan tidak merupakan suatu keharusan bagi adanya  iman. Seseorang tetap dianggap mukmin walaupun meninggalkan perbuatan yang diwajibkan dan melakukan dosa besar.
Dasar  keselamatan  adalah  iman  semata.  Selama  masih  ada  iman  di  hati, setiap  maksiat  tidak  dapat  mendatangkan  madarat  atas  seseorang.  Untuk mendapat  ampunan,  manusia  hanya  cukup  dengan  menjauhkan  diri  dari syirik dan mati dalam keadaan akidah tauhid.

3)     Jabariyah

a.     Asal-usul dan sejarah munculnya
Kata Jabariyah berasal dari kata Jabara yang  mengandung arti memaksa dan  mengharuskan  melakukan  sesuatu. Asy-Syahrastani  mengartikan  Jabariah sebagai  menolak  adanya  perbuatan  dan  menyadarkan semua  perbuatan  kepada Allah  Swt.  Berdasarkan  hal  ini, Asy-Syahrastani  membagi  Jabariah   dalam  dua bentuk, yaitu :
Jabariah  Murni,  yang  menolak  adanya  perbuatan  berasal  dari  manusia dan memandang manusia tidak memiliki kemampuan untuk berbuat,
Jabariah Pertengahan (Moderat), yang mengakui adanya perbuatan manusia namun perbuatan manusia tidak membatasi. Namun, orang yang mengakui adanya  perbuatan  makhluk  yang  mereka  namakan  kasb bukan termasuk Jabariyah.
Paham   al-Jabr   pertama   kali   diperkenalkan   oleh   Jaad   bin   Dirham kemudian   disebarluaskan   oleh   Jahm   bin   Shafwan   dari   Khurasan.   Dalam perkembangannya paham ini juga dikembangkan oleh tokoh lainnya, diantaranya al-Husain  bin  Muhammad  an-Najjar  dan  Jaad  bin  Dirrar.  Pendapat  yang  lain mengatakan bahwa kemunculan paham Jabariyah terpengaruh dari paham ajaran Yahudi dan Nasrani. Yaitu Yahudi sekte Qurro dan agama Nasrani yang bersekte Yacubiyah.
Mengenai paham Jabariyah ini, para ahli sejarah teologi Islam ada yang berpendapat  bahwa  kehidupan  bangsa Arab  yang  dikelilingi  gurun  sahara  telah mempengaruhi cara hidup mereka. Kebergantungan mereka terhadap gurun sahara yang panas telah memunculkan  sikap penyerahan diri terhadap alam.

b.     Doktrin-doktrin Jabariyah.
Doktrin-doktrin Jabariyah secara umum dapat dipaparkan sebagai berikut, yaitu :
Fatalisme, yakni kepasrahan total yang menganggap manusia tidak dapat melakukan apa-apa, tidak memiliki daya, dan dipaksa berbuat oleh Allah Swt.
Surga dan Neraka tidak kekal, tidak ada yang kekal selain Allah Swt.
Iman  adalah  marifat  atau  membenarkan  dalam  hati.  Dalam  hal  ini, pendapat ini sama dengan konsep iman yang di ajarkan Murjiah.
Kalam Tuhan adalah Makhluk.
Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat.
Dalam  perkembangannya  Jabariyah  terbagi  antara  Jabariyah  Murni  dan Jabariyah Moderat. Jabariyah Murni terbagi dalam beberapa golongan, yaitu al- Jahmiyah, an-Najjariyah, dan ad-Dhirariyah.

4)     Qodariyah

a.        Asal-usul paham Qodariyah
Qodariyah   berasal   dari   bahasa   Arab,   yaitu   Qadara,   yang   artinya kemampuan dan kekuatan. Menurut terminology, Qodariyah adalah suatu aliran yang  percaya  bahwa  segala  perbuatan  manusia  tidak  diintervensi  oleh  Tuhan. Jadi, tiap-tiap orang adalah pencipta dari perbuatannya.
Para  pakar  sejarah  teologi  Islam  tidak  mengetahui  secara  pasti  kapan paham  ini  timbul,  tetapi  menurut  keterangan  ahli  lainnya,  paham  Qodariyah diperkirakan   timbul   pertama   kali   oleh   seorang   bernama   Mabad   al-Juhani, menurut  Ibn  Nabatah,  Mabad  al-Juhani  dan  temannya,  Ghailan  al-Dimasyiqi mengambil  paham  ini  dari  seorang  Kristen  yang  masuk  Islam  di  Irak.  Dan Menurut Zahabi, Mabad adalah seorang tabii yang baik dan ia pun menentang kekuasaan Bani Umayah. Dalam pertempuran dengan al-Hajjad tahun 80 H, dia mati terbunuh.

b.        Doktrin-doktrin Qodariyah
Secara  garis  besar,  doktrin-doktrin  Qodariah  pada  dasarnya  berkisar tentang takdir Tuhan, yaitu :
Manusia berkuasa atas segala perbuatannya;
Takdir adalah ketentuan Allah Swt yang diciptakan-Nya bagi seluruh alam semesta beserta seluruh isinya, sejak zaman azali, yaitu hukum dalam istilah al-Quran disebut Sunatullah.
Dalam  perkembangannya,  paham  qodariyah  seringkali  disebut  dengan paham  Mutazilah  seperti  yang  dijelaskan  Asy-Syahrastani  yang  menyatukan pembahasan   Mutazilah   dengan   pembahasan   Qodariyah.   Hal   ini   disebabkan karena paham qodar dijelaskan lebih luas pada aliran Mutazilah.

5)     Mutazilah

a.        Asal-usul dan sejarah munculnya
Secara  harfiayah  kata  Mutazilah  berasal  dari  kata  itazala  yang  berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri. Secara teknis, Mutazilah menunjuk pada dua golongan, yaitu :
Golongan pertama, muncul sebagai respon politik, yaitu bersifat lunak dalam   menyikapi   pertentangan  antara   Ali   dan   lawan-lawannya. Menurut  Abdul  Rozak,  golongan  inilah  yang  pertama-tama  disebut Mutazilah  karena  mereka  menjaukan  diri  dari  pertikaian  masalah Imamah.
Golongan  kedua,  muncul  sebagai  respon  persoalan  teologis  yang berkembang  di  kalangan  khawarij  dan  Murjiah  tentang  pemberian status  kafir  kepada  orang  yang  berbuat  dosa  besar.  Mutazilah  inilah yang akan dibahas kemudian.
Beberapa versi tentang pemberian nama Mutazilah (golongan kedua) ini, merujuk pada peristiwa yang terjadi antara Washil bin Atha, Amr bin Ubaid dan Hasan  Al-Basri  di  Basrah.  Ketika  Washil  mengikut  pengajaran  yang  diberikan oleh Hasan al-Basri tentang dosa besar. Ketika Hasan Basri masih berpikir. Washil mengemukakan  pendapatnya  dengan  mengatakan,    Saya  berpendapat  bahwa orang  yang  berdosa  besar,  bukan  mukmin  dan  bukan  pula  kafir,  tetapi  berada dalam posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir. Kemudian Washil menjauhkan diri dari Hasan Basri dan pergi di tempat lain di lingkungan masjid.
Disana  Washil  mengulangi  pendapatnya  di  depan  para  pengikutnya.  Dengan peristiwa ini, Hasan  Basri berkata,  Wazhil menjauhkan diri dari kita (Itazaala anna).  Menurut  Asy-Syahrastani,  kelompok  yang  menjauhkan  diri  inilah  yang kemudian disebut sebagai Mutazilah.
Al-Masudi   memberikan   keterangan   lain,   mereka   disebut   kaum Mutazilah  karena  mereka  berpendapat  bahwa  orang  yang  berdosa  besar  bukan mukmin dan juga bukan kafir, tetapi mengambil posisi diantara kedua posisi itu (al-mazilah bain al-manzilatain).
Golongan  Mutazilah  juga  dikenal  dengan  nama  lain  seperti  Ahl  al-Adl yang  berarti  golongan  yang  mempertahankan keadilan Tuhan  dan  ahl  al-tawhid wa  al-adl   yang  berarti  golongan  yang  mempertahankan  keesaan  murni  dan keadilan  Tuhan.  Mereka  juga  sering  disamakan  dengan  paham  Qadariyah  yang menganut  paham  free  act  dan  free  will.  Selain  itu  mereka  juga  dinamai  al- Muatillah karena golongan Mutazilah           berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, dalam arti sifat yang memiliki wujud diluar zat Tuhan. Mereka juga diberi nama dengan Wadiyyah, karena mereka berpendapat bahwa ancaman Tuhan  itu  pasti  akan  menimpa  orang-orang  yang  tidak  taat  akan  hukum-hukum Tuhan.
Ajaran-ajaran Mutazilah mendapat dukungan dan penganut dari penguasa Bani Umayyah, yakni khalifah Yazib bin Walid (125-227H). Sedangkan dari Bani Abbasiyah yaitu : Al-Makmun (198-218H), Al-Mutasim billah (218-227H), dan Al-Watsiq ( 227-232H).

b.        Ajaran Dasar Teologi Mutazilah.
Ajaran-ajaran  dasar  Mutazilah  ini  juga  disebut  dengan  al-Ushul al- Khamsah. Yaitu :
At-Tauhid
At-Tauhid  (pengesaan  Tuhan)  merupakan  prinsip  utama  dan  intisari ajaran   Mutazilah.   Sebenarnya,   semua   aliran   teologis   dalam   Islam memegang   doktrin   ini.   Namun, Tauhid dalam paham Mutazilah memiliki arti spesifik. Yaitu :
Tuhanlah satu-satunya yang Esa, yang unik dan tidak satupun yang menyamai-Nya.  Karena  itu,  Dia-lah  yang  qadim.  Bila ada yang qadim  lebih dari satu,   maka telah terjadi taadud al qudama (tebilangnya zat yang tak berpemulaan).
 Mutazilah  menolak konsep Tuhan memiliki sifat-sifat, penggambaran fisik, dan Tuhan dilihat dengan mata kepala.
Al-Adl
Ajaran tentang keadilan ini berkait erat dengan beberapa hal, antara lain :

Perbuatan Manusia
Menurut  Mutazilah,  melakukan  dan  menciptakan  perbuatannya sendiri,   terlepas   dari   kehendak   dan   kekuasaan   Tuhan,   baik   secara langsung maupun tidak. Konsep ini memiliki konsekuensi logis dengan keadilan  Tuhan,  yaitu  apapun  yang  akan  diterima  manusia  di  akhirat merupakan balasan perbuatannya di dunia.
Berbuat baik dan terbaik (as-shalah wa al-ashlah)
Maksudnya adalah kewajiban Tuhan untuk berbuat baik, bahkan terbaik  untuk  manusia.  Tuhan  tidak  mungkin  jahat  dan  penganiaya, karena  hal  tersebut  tidak  layak  bagi  Tuhan.  Jika  Tuhan  berlaku  jahat terhadap seseorang dan berlaku jahat kepada orang lain berarti Ia tidak adil.  Maka Tuhan pastilah berbuat yang terbaik bagi manusia.
Mengutus Rasul
Mengutus rasul bagi manusia merupakan kewajiban bagi Tuhan dengan alasan sebagai berikut :
Tuhan wajib berlaku baik kepada manusia.
Al-Quran  secara  tegas  menyatakan  kewajiban  Tuhan untuk memberikan belas kasih kepada manusia (QS 26:29).

Tujuan  diciptakan  manusia  adalah  untuk  beribadah  kepada- Nya.
Al-Waad wa al-Waid
Al-Manzilah bain al-Manzilatain
 Al-Amru bi al-Maruf wa an-Nahy an Munkar.

6)     Syiah

a.     Asal-usul kemunculan Syiah
Syiah  secara bahasa  berarti  pengikut, pendukung,  partai,  atau kelompok, sedangkan  secara  terminology  adalah  sebagian  kaum  muslimin  yang  dalam bidang  spiritual  dan  keagamaannya  selalu  merujuk  kepada  keturunan  Nabi Muhammad Saw, atau orang yang disebut sebagai ahl-bait.
Menurut Abu Zahrah, Syiah mulai muncul pada akhir masa pemerintahan Utsman  bin Affan  kemudian  tumbuh  dan  berkembang  pada  masa  pemerintahan Ali  bin  Abi  Thalib.  Adapun  menurut  Watt,  Syiah  benar-benar  muncul  ketka berlangsung  peperangan  antara  Ali  dan  Muawiyah  pada  perang  siffin.  Dalam respon ini, golongan yang mendukung Ali disebut sebagai Syiah dan yang tidak menolak Ali disebut sebagai Khawarij.
Berkaitan   dengan   teologi,   mereka   memiliki   lima   rukun   iman,   yakni Tauhid, Nubuwah, Maad (Kepercayaan akan adanya hidup di akhirat), Imamah(kepercayaan terhadap imamah yang merupakan hak ahlul bait), dan adl (keadilan Tuhan).

b.     Ajaran-ajaran Syiah
Tauhid. Tuhan  adalah  Esa,  baik  ekstensi  maupun  esensi-Nya.  Keesaan  adalah mutlak. Keesaan Tuhan tidak  murakkab (tersusun).Tuhan tidak membutuhkan sesuatu, Ia berdiri sendiri, dan tidak dibatasi oleh ciptaan- Nya.
Nubuwah. Setiap mahkluk membutuhkan petunjuk, baik petunjuk dari Tuhan maupun dari manusia. Rasul merupakan petunjuk hakiki utusan Tuhan yang diutus untuk  memberikan  acuan  dalam  membedakan  antara  baik  dan  buruk  di alam  semesta.  Tuhan  telah  mengutus  124.000  rasul  untuk  memberikan petunjuk kepada manusia.
Maad. Maad adalah hari akhir untuk menghadapi Tuhan di akhirat. Mati adalah kehidupan transit dari kehidupan dunia menuju kehidupan akhirat.
Imamah. Imamah  adalah  institusi  yang  diinagurasikan  Tuhan  untuk  memberikan petunjuk  manusia yang  dipilih dari keturunan Ibrahim dan didelegasikan kepada keturunan Muhammad Saw.
Adl. Tuhan  menciptakan  kebaikan  di  Alam  semesta  ini  merupakan  keadilan. Tuhan memberikan akal kepada manusia untuk mengetahui perkara yang salah  melalui  perasaan.  Manusia  dapat  menggunakan  indranya  untuk melakukan perbuatan, baik perbuatan baik maupun perbuatan buruk. Jadi, manusia dapat memanfaatkan potensi berkehendak sebagai anugrah Tuhan untuk mewujudkan dan bertanggung jawab atas perbuatannya.
Dalam  perkembangannya,      golongan  syiah  ini  terpecah  dalam  beberapa sekte. Perpecahan ini dipicu karena doktrin imamah yang berbeda-beda. Diantara sekte syiah itu adalah Istsna AsyAriyah, Sabiyah,  Zaidiyah, dan Gullat.

D.    Pengaruh Teologi Terhadap Umat Islam

Persoalan teologi yang berawal dari persoalan politik pemerintahan, tidak sedikit  berimbas  terhadap  tatanan  kehidupan  masyarakat  sosial  yang  secara tidak langsung ikut terlibat serta menjadi bagian di dalamnya. Berbagai kalangan bersaing  untuk  mempertahankan  paham  mereka,  bahkan  hingga  menimbulkan perselisihan  di  dalam  golongan  itu  sendiri.  Hal  ini  menggambarkan  bahwa bukanlah  suatu  hal  yang  aneh  jika  terjadi  perpecahan  di  kalangan  umat  Islam, terlebih dalam satu golongan tidak kokoh dengan satu pemahaman.
Adapun pengaruh atau imbas dari teologi itu sendiri adalah :
Terpecahnya Umat Islam dalam Keberagaman Sudut Pandang
Terpecahnya umat Islam pada daat itu, tidak terlepas dari sejarah lahirnya teologi, yang berawal dari terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan serta naiknya Ali  sebagai  Khalifah  yang  memimpin  dunia  Islam  pada  saat  itu.  Sejarah  Islam secara  gamblang  menjelaskan  bahwa  Perang  Siffin  berimbas  kepada  lahirnya golongan-golongan yang berdiri di atas paham mereka sendiri.
Persoalan  teologipun  menjadi  suatu  hal  yang  menarik  pada  saat  itu, terlebih  jika  dikaitkan  dengan  berbagai  perkembangan  pemikiran  dari  suatu golongan dan bahkan peikiran para tokoh Islam.
Setidaknya  banyak  aliran  yang  timbul  dari  persoalan  ini,  antara  lain Khawarij, Murjiah dan Mutazilah serta Qadariyah dan Jabariyah. Aliran-aliran ini berdiri dengan paham dan pemikiran mereka masing-masing terhadap situasi yang terjadi pada saat itu. Dengan adanya golongan-golongan inilah menggambarkan bahwa Islam terpecah dalam beberapa kelompok yang menjunjung tinggi pemikiran mereka masing-masing.
Kecekcokan dalam Suatu Golongan.
Bukan hanya melibatkan kelompok-kelompok besar, teologi ternyata juga berdampak  terhadap  apa  yang  terjadi  di  dalam  golongan-golongan  tersebut. Persoalan  yang  awalnya  menimbulkan  perbedaan  beberapa  golongan,  ternyata juga mengalami perbedaan tersendiri di dalam ruang lingkup golongan tersebut
Khawarij   misalnya,   yang   dikenal   sebagai   barisan   yang   keluar   dari pendukung  Ali  bin  Abi  Thalib,  dan  telah  mempunyai   pemikiran  tersendiri, ternyata  dari  pengikut  golongan  khawarijpun  tepecah  ke  dalam  beberapa  sekte dengan  pemikiran  yang  berbeda.  Golongan  khawarij  juga  sering  mengadakan perlawanan  terhadap  penguasa-penguasa  Islam  dan  Umat  Islam  yang  ada  di zaman mereka.
Lain  hal  dengan  Mutazilah,  setelah  beberapa  saat  mencapai  puncak kejayaannya,  Mutazilah  mengalami  kemunduran  drastis  yang  disebabkan  oleh perbuatan mereka sendiri. Mereka yang  hendak mempertahankan pemikiran dan kebebasan  mereka  sendiri,  malah  memusuhi  orang-orang  yang  tidak  mengikuti paham  mereka. Peristiwa ini mencapai puncak hingga menimbulkan perpecahan yang justru melahirkan golongan baru.
Tidak  sedikit  dari  golongan-golongan  ini  yang  menggunakan  kekerasan dalam  pelaksanaannya.  Banyak  terjadi  pemaksaan  terhadap  umat  Islam  dan terhadap   pengikut   golongan   itu   sendiri   untuk   meyakini   atau   ikut   dengan pemikiran  yang  mereka  anut.  Dan  tentunya  tidak  semua  pihak  yang  mampu menerima  tindak  paksaan  seperti  itu,  sehingga  memicu  kekerasan  yang  akan berdampak lebih buruk lagi. Dari fenomena ini terlihat bahwa keberagaman pemikiran dan sifat ingin berkuasanya  manusia  dapat  menimbulkan  hal-hal  yang  seharusnya  tidak  perlu terjadi, seperti peperangan antar sesame Muslim.
Impilkasi dari Aqidah  yang  berarah pada konsep pemahaman dari suatu aliran. Keyakinan      yang dianut oleh masing-masing aliran justru menimbulkan  bidah. Jadi  berdasarkan  catatatan  sejarah  Islam,  terdapat  bidah khwarij, bidah murjiah dan bidah syiah.