- Sejarah Munculnya Firqah-Firqah dalam Islam
Timbulnya
aliran-aliran teologi Islam tidak terlepas dari fitnah-fitnah yang beredar setelah
wafatnya Rasulullah Saw.
Setelah Rasulullah Saw
wafat peran sebagai kepala
Negara digantikan oleh
para sahabat-sahabatnya, yang
disebut khulafaur Rasyidin yakni
Abu Bakar, Umar bin
Khatab, Utsman bin Affan, dan Ali
bin Abi Thalib. Namun,
ketika pada masa
Utsman bin Affan mulai
timbul adanya perpecahan antara
umat Islam yang
disebabkan oleh banyaknya
fitnah yang timbul pada masa itu. Sejarah mencatat, akibat dari
banyaknya fitnah yang timbulkan pada masa itu menyebabkan perpecahan pada umat
Islam, dari masalah politik sampai pada masalah
teologis.
Awal
mula perpecahan bisa kita simak sejak kematian Utsman bin Affan r.a. Ahli
sejarah menggambarkan ‘Usman sebagai orang
yang lemah dan
tak sanggup menentang ambisi
keluarganya yang kaya
dan berpengaruh itu
untuk menjadi gubernur. Tindakan-tindakan yang dijalankan Usman ini
mengakibatkan reaksi yang tidak
menguntungkan bagi dirinya.
Sahabat-sahabat nabi setelah melihat tindakan
Usman ini mulai
meninggalkan khalifah yang
ketiga ini. Perasaan tidak
senang akan kondisi ini mengakibatkan terjadinya pemberontakan, seperti adanya
lima ratus pemberontak
berkumpul dan kemudian
bergerak ke Madinah. Perkembangan
suasana di Madinah
ini membawa pada
pembunuhan Usman oleh pemuka-pemuka pemberontak di Mesir ini.
Setelah
Usman wafat Ali sebagai calon terkuat menjadi khalifah keempat. Tetapi segera
ia mendapat tantangan
dari pemuka-pemuka yang
ingin pula menjadi khalifah,
terutama Talhah dan
Zubeir dari Mekkah
yang mendapat sokongan dari Aisyah. Tantangan
ini dapat dipatahkan
Ali dalam pertempuran yang terjadi
di Irak tahun
656 M. Talhah dan
Zubeir mati terbunuh
dan Aisyah dikirim kembali ke Mekkah.[1]
Tantangan
kedua datang dari Mu’awiyah, Gubernur Damaskus dan keluarga dekat Usman. Ia
menuntut Ali supaya menghukum pembunuh- pembunuh Usman,
bahkan ia menuduh
bahwa Ali turut
campur dalam soal pembunuhan itu.
Dalam pertempuran yang
terjadi antara kedua
golongan ini di Siffin,
tentara Ali mendesak tentara
Mu’awiyah sehingga yang
tersebut akhir ini bersiap-siap untuk
lari. Tetapi tangan
kanan Mu’awiyah Amr
Ibn al-’As yang terkenal sebagai orang licik minta
berdamai dengan mengangkat al-Quran keatas. Qurra’ atau syi’ah yang ada dipihak Ali mendesak Ali untuk mnerima tawaran
itu dan dicarilah perdamaian dengan mengadakan arbitase. Sebagai pengantara diangkat dua orang, yaitu Amr Ibn
al-‘As
dari pihak Mu’awiyah dan Abu Musa al-Asy’ari dari pihak Ali. Dalam pertemuan mereka, kelicikan Amr
mengalahkan perasaan takwa Abu Musa. Sejarah mengatakan bahwa keduanya terdapat
pemufakatan untuk menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan, Ali dan Mu’awiyah.Tradisi
menyebutkan bahwa Abu Musa terlebih dahulu mengumumkan kepada
orang ramai putusan
menjatuhkan kedua pemuka
yang bertentangan itu. Berlainan dengan apa yang telah disetujui, Amr
mengumumkan hanya menyutujui penjatuhan
Ali yang telah
di umumkan Abu
Musa, tetapi menolak penjatuhan
Mu’awiyah.
Peritiwa ini merugikan bagi Ali dan menguntungkan bagi Mu’awiyah.
Khalifah yang sebenarnya adalah Ali,
sedangkan Mu’awiyah kedudukannya tak lebih
dari Gubernur daerah
yang tak mau tunduk kepada Ali
sebagai khalifah. Dengan adanya arbitase
ini kedudukannya telah naik menjadi khalifah yang tidak resmi.
Sikap Ali
yang menerima dan
mengadakan arbitase ini, sungguhpun dalam keadaan terpaksa, tidak
disetujui oleh sebagian tentaranya. Mereka berpendapat bahwa
hal serupa itu
idak dapat diputuskan
oleh arbitase manusia. Putusan hanya datang dari Allah
dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam al-Quran. La hukma illa lillah
(tidak ada hukum selain hukum dari Allah) atau la hakama illa Allah (Tidak ada
pengantar selain dari hukum Allah), menjadi semboyan mereka.
Mereka memandang
Ali telah berbuat
salah, oleh karena
itu mereka meninggalkan
barisannya. Golongan mereka inilah dalam sejarah islam terkenal dengan nama
al-Khawarij, yaitu orang yang keluar dan memisahkan diri. Karena memandang Ali
bersalah dan berbuat dosa, mereka melawan Ali. Ali sekarang
menghadapi dua musuh,
yaitu Mu’awiyah dan
Khawarij.karena selalu
mendapat serangan dari
kedua pihak ini Ali
terlebih dahulu memusatkan usahanya untuk
menghancurkan Khawarij. Setelah
Khawarij kalah Ali
terlalu lelah untuk meneruskan
pertempuran dengan Mu’awiyah. Mu’awiyah tetap berkuasa di Damaskus dan setelah Ali
wafat ia dengan mudah dapat memperoleh pengakuan sebagai khalifah umat Islam
pada tahun 661 M.
B. Perdebatan Teologi Firqah-Firqah Islam
Persoalan-persoalan
politik yang terjadi ini akhirnya menimbulkan persoalan teologi.
Timbullah persoalan siapa
yang kafir dan
siapa yang bukan kafir.
Khawarij menganggap Ali,
Mu’awiyah, Amr Ibn
al-‘As, Abu Musa
al- Asy’ari dan lain-lain yang telah menerima arbitase adalah
kafir. Karena keempat pemuka ini dianggap
kafir dalam arti
telah keluar dari
islam, kaum Khawarij menganggap mereka harus dibunuh.
Lambat
laun kaum Khawarij pecah menjadi beberapa sekte. Konsep kafir turut pula
mengalami perubahan. Yang dipandang
kafir bukan lagi
hanya orang yang tidak menentukan
hukum dengan al-Qur’an, tetapi orang yang berbuat dosa besar juga dipandang
kafir. Persoalan orang yang
berbuat dosa inilah
yang kemudian mempunyai pengaruh besar terhadap pertumbuhan
teologi selanjutnya dalam islam.
Persoalan ini menimbulkan tiga aliran teologi, yaitu Khawarij, Murji’ah,
Mu’tazilah.
Aliran
Khawarij mengatakan bahwa orang yang telah berbuat dosa besar adalah kafir,
dalam arti telah keluar dari agama islam dan ia wajib dibunuh. Kaum Murji’ah
mengatakan bahwa orang yang telah melakukan dosa besar tetap masih mukmin dan
bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya, terserah kepada Allah SWT
yang mengampuninya atau
tidak. Sedangkan Mu’tazilah sebagai aliran ketiga
tidak menerima pendapat
diatas. Bagi mereka
orang yang telah berbuat dosa besar bukan kafir tetapi
bukan pula mukmin. Orang yang seperti
ini menurut mereka mengambil
posisi diantara dua
posisi mukmin dan
kafir yang dalam bahsa
arabnya terkenal dengan
istilah almanzilah bain
al-manzilitain (posisi diantara dua posisi).
Dalam keadaan
seperti ini timbullah
dua aliran teologi
yang terkenal dengan nama
al-qadariah dan al-jabariah. Menurut
al-qadariah manusia mempunyai
kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Sebaliknya dengan al-jabariah berpendapat
bahwa manusia tidak
mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan
perbuatannya. Manusia dalam
tingkah lakunya bertindak
dengan paksaan Tuhan dan gerak-gerik ditentukan oleh Tuhan, menurut
jabariah. Selanjutnya, kaum Mu’tazilah dengan diterjemahkannya buku-buku
falsafat dan ilmu pengetahuan
Yunani kedalam bahasa Arab,
terpengaruh oleh pemakaian
rasio atau akal yang mempunyai kedudukan tinggi dalam kebudayaan Yunani
klasik itu. Dengan pemakaian rasio ini
oleh kaum Mu’tazilah membawa mereka untuk mengambil teologi liberal,
dalam arti bahwa sungguhpun kaum Mu’tazilah
banyak mempergunakan rasio mereka, mereka tidak meninggalkan wahyu.
Dengan
penggambaran diatas sudah pasti bahwa Mu’tazilah lebih memilih
qadariah dibanding jabariah yang mana golongan yang percaya pada
kekuatan dan kemerdekaan akal untuk berfikir. Teologi mereka yang bersifat
rasional dan liberal ini membuat kaum intelegensia tertarik akan teologi
mereka yang terdapat dalam lingkungan
pemerintahan Kerajaan Islam Abbasiah dipermulaan abad ke-9 Masehi. Khalifah
al-Ma’mun, putra
dari khalifah Harun
al-Rasyid pada tahun
827 M menjadikan teologi Mu’tazilah sebagai mazhab
yang resmi dianut
negara. Karena telah menjadi
aliran resmi dari
pemerintahan, kaum Mu’tazilah mulai bersikap
paksa dalam menyiarkan ajaran
mereka. Terutama paham
mereka bahwa al-Qur’an bersifat makhluq dalam arti diciptakan bukan bersifat
qadim dalam arti kekal dan tidak diciptakan.
Aliran
Mu’tazilah
yang bersifat rasional ini menimbulkan tantangan keras dari golongan
tradisional Islam, terutama
golongan Hambali, yaitu
pengikut- pengikut mazhab Ibn
Hambal. politik menyiarkan aliran
Mu’tazilah secara
kekerasan berkurang setelal
al-Ma’mun meninggal pada
tahun 833 M, dan
akhirnya aliran Mu’tazilah sebagai mazhab
resmi dari negara
dibatalkan oleh khalifah al-Mutawwakil
pada tahun 856 M. dengan
demikian kaum Mu’tazilah kembali kepada kadudukan mereka semula, tetapi kini
mereka telah mempunyai lawan yang bukan sedikit dari kalangan umat Islam.
Perlawanan ini
kemudian mengambil bentuk
aliran teologi tradisional yang disusun
oleh Abu al-Hasan
al-Asy’ari (932 M).
Al-Asy’ari sendiri pada mulanya adalah mu’tazilah, tetapi kemudian menurut riwayatnya setelah melihat dalam mimpi
bahwa ajaran-ajaran Mu’tazilah dicap Nabi
Muhammad sebagai ajaran yang
sesat, al-Asy’ari meninggalkan ajaran tiu dan membentuk ajaran baru yang
trerkenal dengan nama teologi al-Asy’ariah atau al-Asya’irah. Disamping aliran
asy’ariah timbul pula di Samarkand perlawanan menentang aliran
Mu’tazilah
yang didirikan oleh
Abu Mansur Muhammad
al-Maturidi. Aliran ini dikenal
dengan nama teologi al-Maturidiah yang mana tidak bersifat setradisional al-Asy’ariah,
akan tetapi tidak pula seliberal Mu’tazilah.
Dengan demikian
aliran-aliran teologi penting
yang timbul dalam
islam adalah aliran Khawarij,
Murji’ah, Mu’tazilah,
Asy’ariah dan
Maturidiah. Aliran Khawarij,
Murji’ah, Mu’tazilah tidak
mempunyai wujud lagi
kecuali dalam sejarah. Yang masih
ada sampai sekarang ialah aliran Asy’ariah dan Maturidiah, dan
keduannya disebut Ahl
Sunnah wa al-Jama’ah. Aliran Maturidiah
banyak dianut oleh umat Islam yang bermazhab Hanafi, sedangkan aliran
Asy’ariah
pada umumnya dipakai oleh umat Islam Sunni lainnya.
C. Ajaran Pokok Firqah-Firqah Teologi Islam
1) Khawarij
a. Asal-usul dan Sejarah Khawarij
Kata khawarij
secara etimologi berasal
dari bahasa Arab,
yaitu kharaja yang berarti
keluar, muncul, timbul
atau memberontak. Syahrastani
mengartikan khawarij sebagai kelompok
masyarakat yang memberontak
dan tidak mengakui terhadap imam
yang sah dan
sudah disepakati oleh
kaum muslimin, baik
pada masa sahabat, pada
masa tabiin maupun
pada masa sesudahnya. Namun, menurut Harun
Nasution ada pula
pendapat yang mengatakan
bahwa nama khawarij diberikan
atas surat an-Nisa
ayat 100 yang
didalamnya disebutkan : “Keluar dari rumah lari kepada Allah dan Rasul-Nya”.
Dengan demikian kaum khawarij memandang diri mereka sebagai orang yang meninggalkan
rumah dari kampung halamannya untuk men gabdikan diri kepada Allah dan
RasulNya.
Selain itu
mereka menyebut diri
mereka Syurah, yang
berasal dari kata Yasyiri
(Menjual), sebagaimana disebutkan
dalam Al-Baqoroh ayat 207
: “Ada manusia yang menjual dirinya untuk keridhaan Allah”.
Nama lain yang diberikan kepada mereka adalah Haruriah, dari kata harura, suatu
desa didekat kufah, Irak.
Di tempat
inilah, mereka yang
pada waktu itu
berjumlah dua belas
ribu orang berkumpul setelah
memisahkan diri dari Ali.
Disini mereka memilih
‘Abdullah bin abdul wahab
al-Rasyidi menjadi imam sebagai ganti dari Ali bin Abi Thalib.
Dalam pertempuran dengan
Ali mereka mengalami
kekalahan besar, tetapi seorang khawarij bernama Abd
al-Rahman Ibn Muljam dapat membunuh Ali.
Gerakan khawarij
berpusat di dua
tempat. Yaitu di
Bathaih yang menguasai dan
mengontrol kaum khawarij
yang berada di
Persia dan sekeliling Irak. Tokoh-tokohnya ialah
Nafi’ Bin Azraq,
Qathar bin Faja’ah. Lainnya
bermarkas di Arab daratan yang menguasai kaum khawarij yang berada di Yaman,
Hadlaramaut, dan Thaif. Tokoh-tokohnya ialah Abu Thaluf, Najdar bin Amri, dan
Abu Fudaika.
b. Doktrin-doktrin pokok Khawarij
Diantara
doktrin-doktrin pokok Khawarij adalah berikut ini:
Khalifah
atau Imam harus dipilih secara bebas oleh kaum Muslimin;
Khalifah tidak
harus berasal dari keturunan Arab. Siapapun berhak menjadi khalifah apabila memenuhi
syarat;
Khalifah
dipilih secara permanen selama yang
bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syariat Islam. Ia harus dijatuhkan
bahkan dibunuh kalau melakukan kezaliman;
Khalifah
sebelum Ali (Abu Bakar, Umar, dan Utsman) adalah sah. Tetapi setelah tahun
ketujuh dari masa
kekhalifahannya, Utsman r.a
dianggap telah menyeleweng;
Khalifah
Ali adalah sah, tetapi setelah adanya Arbitrase, ia dianggap telah menyeleweng;
Muawaiyah dan
Amr bin Ash
serta Abu Musa
Al-As’ary juga telah dianggap menyeleweng dan telah menjadi
kafir;
Pasukan
perang jamal yang telah melawan Ali juga Kafir;
Seseorang yang
berdosa besar tidak
lagi disebut muslim
sehingga harus dibunuh. Yang lebih
parah, mereka menganggap
bahwa seorang muslim dapat
menjadi kafir apabila
ia tidak mau
membunuh muslim lain
yang telah dianggap kafir
dengan resiko ia
menanggung beban harus dilenyapkan pula;
Setiap muslim
harus berhijrah dan
bergabung dengan golongan
mereka. Bila tidak mau
bergabung maka ia wajib
diperangi karena hidup
dalam dar el-harb (Negara
musuh), sedang golongan
mereka sendiri dianggap berada dalam dar al-islam (Negara
Islam);
Seseorang
harus menghindar dari pimpinan yang menyeleweng;
Adanya
wa’ad
dan wa’id
(Orang yang baik harus masuk surga, sedangkan yang jahat harus masuk kedalam
neraka);
Amar
ma’ruf
nahi munkar;
Memalingkan
ayat-ayat al-Quran yang tampak Mutasabihat (samar);
Quran
adalah makhluk;
Manusia
bebas memutuskan perbuatannya, bukan dari Tuhan;
Menurut
Asy-Syahrastani, mereka terpecah menjadi delapan belas subsekte, namun sekte
yang paling pentingnya
adalah Al-Muhakimah, Al- Azariqoh, An-Najdiyah, Al-Baihasiyah, Al-A’jaridah, ats-Ts’alibah, dan
as- Shufriyah. Menurut
al-Bagdady, seperti yang
dikutip Harun Nasution
ada dua puluh sub sekte Khawarij.
Sekte-sekte
Khawarij tersebut membicarakan persoalan hukum bagi orang yang berbuat dosa besar, apa dia masih dianggap
mukmin atau dia telah menjadi kafir.
Doktrin inilah yang
terlihat mendominasi mereka,
sedangkan doktrin- doktrin lainnya
hanya sebagai penunjang
saja. Pemikiran subsekte
ini bersikap praktis daripada
teoritis sehingga kriteria
mukmin dan kafirnya
menjadi tidak jelas. Hal
ini membuat kondisi
tertentu seseorang yang
bias menjadi kafir
dan dalam waktu bersamaan menjadi seorang mukmin .
2) Murjiah
a. Asal-usul dan sejarah munculnya
Nama Murjiah
berasal dari kata
irja atau arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan, dan
pengharapan. Memberi harapan
dalam artian member harapan
kepada para pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan Allah Swt. Selain
itu, irja’a juga bisa memiliki arti meletakkan di belakang atau
mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal dan iman. Oleh karena itu,
Murjiah berarti orang
yang menunda penjelasan
kedudukan seseorang yang bersengketa, yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing, ke hari kiamat kelak.
Ada
beberapa teori yang mengemukakan asal-usul adanya aliran Murjiah. Teori pertama
mengatakan bahwa gagasan
Irja’a atau arja
dikembangkan oleh sebagian sahabat
dengan tujuan menjamin
persatuan dan kesatuan
umat Islam ketika terjadinya
pertikaian politik dan
juga bertujuan untuk
menghindari sektarianisme. Diperkirakan
Murjiah ini muncul
bersamaan dengan munculnya Khawarij.
Menurut
Watt, 20 tahun setelah kematian Muawiyah, dunia Islam dikoyak oleh pertikayan
sipil. Al-Mukhtar membawa paham
Syiah ke Kufah
dari tahun 685-687; Ibn
Zubair mengklaim kekhalifahan
di mekah hingga
yang berada dibawah
kekuasaan Islam. Sebagai
respon dari keadaan
ini, muncul gagasan
irja atau penangguhan (postponenment). Gagasan
ini pertama kali
digunakan tahun 695 olleh cucu
Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan bin Muhammad Al-Hanafiyah, dalam sebuah surat
pendeknya. Dalam surat ini Al Hasan menunjukan sikap politiknya dengan
mengatakan, “ Kita mengakui Abu Bakar dan Umar, tetapi menangguhkan
keputusan atas persoalan
yang terjadi pada
konflik sipil yang
pertama yang melibatkan Utsman,
Ali, dan Zubair.
” Dengan sikap
politik ini, Al-Hasan mencoba untuk
menanggulangi perpecahan umat
Islam. Ia pun
mengelak berdampingan dengan kelompok
Syiah yang terlampau
mengagungkan Ali dan para
pengikutnya, serta menjauhkan
diri dari Khawarij
yang menolak mengaki kekhalifahan Muawiyah
dengan alasan bahwa
dia adalah keturunan
si pendosa Utsman.
Teori
lain mengatakan bahwa ketika terjadi perseteruan Ali dan Muawiyah, dilakukan
Tahkim atas usulan
Amr bin Ash,
pengikut Muawiyah. Kelompok Ali
terpecah menjadi dua kubu, yang pro dan yang kontra. Kelompok kontra akhirnya
keluar dari Ali,
yaitu kelompok Khawarij,
yang memandang bahwa keputusan
takhim bertentangan dengan
al-Quran. Oleh karena
itu, pelakunya melakukan dosa
besar dan pelakunya dapat dihukumi kafir. Pendapat ini ditolak
oleh sebagian sahabat
yang kemudian disebut
Murjiah, yang mengatakan bahwa
pembuat dosa besar tetaplah mukmin, tidak kafir,
sementara dosanya diserahkan kepada Allah, apakah dia akan mengampuninya
atau tidak.
b. Doktrin-doktrin Murjiah
Menurut
W. M. Watt, doktrin-doktin Murjiah secara
umum sebagai berikut:
Penangguhan keputusan
terhadap Ali dan Muawiyah hingga
Allah yang memutuskannya di hari kiamat kelak.
Penangguhan
Ali untuk menduduki rangking keempat dalam peringkat al- Khalifah ar-Rasyidun.
Pemberian harapan
terhadap orang muslim
yang berdosa besar
untuk mendapat ampunan dan rahmat dari Allah Swt.
Doktrin-doktrin Murjiah
menyerupai pengajaran (mazdhab)
para skeptik dan empiris dari
kalangan Helenis.
Sementara Abu A’la al
Maududi menyebutkan dua
ajaran paling pokok Murjiah, yaitu :
Iman
adalah percaya kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Adapun amal dan perbuatan tidak
merupakan suatu keharusan bagi adanya
iman. Seseorang tetap dianggap mukmin walaupun meninggalkan perbuatan
yang diwajibkan dan melakukan dosa besar.
Dasar keselamatan
adalah iman semata.
Selama masih ada
iman di hati, setiap
maksiat tidak dapat
mendatangkan madarat atas
seseorang. Untuk mendapat ampunan,
manusia hanya cukup
dengan menjauhkan diri
dari syirik dan mati dalam keadaan akidah tauhid.
3) Jabariyah
a. Asal-usul dan sejarah munculnya
Kata
Jabariyah berasal dari kata Jabara yang
mengandung arti memaksa dan
mengharuskan melakukan sesuatu. Asy-Syahrastani mengartikan
Jabariah sebagai menolak adanya
perbuatan dan menyadarkan semua perbuatan
kepada Allah Swt. Berdasarkan
hal ini, Asy-Syahrastani membagi
Jabariah dalam dua bentuk, yaitu :
Jabariah Murni,
yang menolak adanya
perbuatan berasal dari
manusia dan memandang manusia tidak memiliki kemampuan untuk berbuat,
Jabariah
Pertengahan (Moderat), yang mengakui adanya perbuatan manusia namun perbuatan
manusia tidak membatasi. Namun, orang yang mengakui adanya perbuatan
makhluk yang mereka
namakan “kasb” bukan termasuk Jabariyah.
Paham al-Jabr
pertama kali diperkenalkan oleh
Ja’ad bin Dirham kemudian disebarluaskan oleh
Jahm bin Shafwan
dari Khurasan. Dalam perkembangannya paham ini juga
dikembangkan oleh tokoh lainnya, diantaranya al-Husain bin
Muhammad an-Najjar dan Ja’ad bin
Dirrar. Pendapat yang
lain mengatakan bahwa kemunculan paham Jabariyah terpengaruh dari paham
ajaran Yahudi dan Nasrani. Yaitu Yahudi sekte Qurro dan agama Nasrani yang
bersekte Ya’cubiyah.
Mengenai
paham Jabariyah ini, para ahli sejarah teologi Islam ada yang berpendapat bahwa
kehidupan bangsa Arab yang
dikelilingi gurun sahara
telah mempengaruhi cara hidup mereka. Kebergantungan mereka terhadap gurun
sahara yang panas telah memunculkan
sikap penyerahan diri terhadap alam.
b. Doktrin-doktrin Jabariyah.
Doktrin-doktrin
Jabariyah secara umum dapat dipaparkan sebagai berikut, yaitu :
Fatalisme,
yakni kepasrahan total yang menganggap manusia tidak dapat melakukan apa-apa,
tidak memiliki daya, dan dipaksa berbuat oleh Allah Swt.
Surga
dan Neraka tidak kekal, tidak ada yang kekal selain Allah Swt.
Iman adalah
ma’rifat atau membenarkan
dalam hati. Dalam
hal ini, pendapat ini sama dengan
konsep iman yang di ajarkan Murji’ah.
Kalam
Tuhan adalah Makhluk.
Tuhan
tidak dapat dilihat di akhirat.
Dalam perkembangannya Jabariyah
terbagi antara Jabariyah
Murni dan Jabariyah Moderat.
Jabariyah Murni terbagi dalam beberapa golongan, yaitu al- Jahmiyah,
an-Najjariyah, dan ad-Dhirariyah.
4) Qodariyah
a. Asal-usul paham Qodariyah
Qodariyah berasal
dari bahasa Arab,
yaitu Qadara, yang
artinya kemampuan dan kekuatan. Menurut terminology, Qodariyah adalah
suatu aliran yang percaya bahwa
segala perbuatan manusia
tidak diintervensi oleh
Tuhan. Jadi, tiap-tiap orang adalah pencipta dari perbuatannya.
Para pakar
sejarah teologi Islam
tidak mengetahui secara
pasti kapan paham ini
timbul, tetapi menurut
keterangan ahli lainnya,
paham Qodariyah diperkirakan timbul
pertama kali oleh
seorang bernama Ma’bad al-Juhani,
menurut Ibn Nabatah,
Ma’bad al-Juhani dan
temannya, Ghailan al-Dimasyiqi mengambil paham
ini dari seorang
Kristen yang masuk
Islam di Irak.
Dan Menurut Zahabi, Ma’bad adalah seorang tabi’i yang baik dan ia pun menentang kekuasaan Bani Umayah.
Dalam pertempuran dengan al-Hajjad tahun 80 H, dia mati terbunuh.
b. Doktrin-doktrin Qodariyah
Secara garis
besar, doktrin-doktrin Qodariah
pada dasarnya berkisar tentang takdir Tuhan, yaitu :
Manusia
berkuasa atas segala perbuatannya;
Takdir
adalah ketentuan Allah Swt yang diciptakan-Nya bagi seluruh alam semesta
beserta seluruh isinya, sejak zaman azali, yaitu hukum dalam istilah al-Quran
disebut Sunatullah.
Dalam perkembangannya, paham
qodariyah seringkali disebut
dengan paham Mu’tazilah seperti
yang dijelaskan Asy-Syahrastani yang
menyatukan pembahasan Mu’tazilah dengan
pembahasan Qodariyah. Hal
ini disebabkan karena paham
qodar dijelaskan lebih luas pada aliran Mu’tazilah.
5) Mu’tazilah
a. Asal-usul dan sejarah munculnya
Secara harfiayah
kata Mu’tazilah berasal
dari kata i’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang
berarti juga menjauh atau menjauhkan diri. Secara teknis, Mu’tazilah
menunjuk pada dua golongan, yaitu :
Golongan
pertama, muncul sebagai respon politik, yaitu bersifat lunak dalam menyikapi
pertentangan antara Ali
dan lawan-lawannya. Menurut Abdul
Rozak, golongan inilah
yang pertama-tama disebut Mu’tazilah karena mereka
menjaukan diri dari
pertikaian masalah Imamah.
Golongan kedua,
muncul sebagai respon
persoalan teologis yang berkembang di
kalangan khawarij dan
Murjiah tentang pemberian status kafir
kepada orang yang berbuat dosa
besar. Mu’tazilah inilah yang akan dibahas kemudian.
Beberapa
versi tentang pemberian nama Mu’tazilah (golongan kedua) ini, merujuk pada peristiwa yang
terjadi antara Washil bin A’tha, Amr bin Ubaid dan Hasan Al-Basri
di Basrah. Ketika Washil
mengikut pengajaran yang
diberikan oleh Hasan al-Basri tentang dosa besar. Ketika Hasan Basri
masih berpikir. Washil mengemukakan
pendapatnya dengan mengatakan,
“ Saya berpendapat
bahwa orang yang berdosa
besar, bukan mukmin
dan bukan pula
kafir, tetapi berada dalam posisi diantara keduanya, tidak
mukmin dan tidak kafir.” Kemudian Washil menjauhkan diri dari Hasan Basri dan pergi
di tempat lain di lingkungan masjid.
Disana Washil
mengulangi pendapatnya di
depan para pengikutnya.
Dengan peristiwa ini, Hasan Basri
berkata,” Wazhil menjauhkan
diri dari kita (I’tazaala anna).
Menurut Asy-Syahrastani, kelompok
yang menjauhkan diri
inilah yang kemudian disebut
sebagai Mu’tazilah.
Al-Mas’udi memberikan
keterangan lain, mereka
disebut kaum Mu’tazilah karena
mereka berpendapat bahwa
orang yang berdosa
besar bukan mukmin dan juga bukan
kafir, tetapi mengambil posisi diantara kedua posisi itu (al-mazilah bain
al-manzilatain).
Golongan Mu’tazilah juga dikenal
dengan nama lain
seperti Ahl al-Adl yang
berarti golongan yang
mempertahankan keadilan Tuhan
dan ahl al-tawhid wa
al-adl yang berarti
golongan yang mempertahankan keesaan
murni dan keadilan Tuhan.
Mereka juga sering
disamakan dengan paham
Qadariyah yang menganut paham
free act dan
free will. Selain
itu mereka juga
dinamai al- Mua’tillah
karena golongan Mu’tazilah
berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, dalam arti sifat yang
memiliki wujud diluar zat Tuhan. Mereka juga diberi nama dengan Wa’diyyah,
karena mereka berpendapat bahwa ancaman Tuhan
itu pasti akan
menimpa orang-orang yang
tidak taat akan
hukum-hukum Tuhan.
Ajaran-ajaran
Mu’tazilah
mendapat dukungan dan penganut dari penguasa Bani Umayyah, yakni khalifah Yazib
bin Walid (125-227H). Sedangkan dari Bani Abbasiyah yaitu : Al-Makmun
(198-218H), Al-Mu’tasim billah (218-227H), dan Al-Watsiq ( 227-232H).
b. Ajaran Dasar Teologi Mu’tazilah.
Ajaran-ajaran dasar
Mu’tazilah ini juga
disebut dengan al-Ushul al- Khamsah. Yaitu :
At-Tauhid
At-Tauhid (pengesaan
Tuhan) merupakan prinsip
utama dan intisari ajaran Mu’tazilah.
Sebenarnya, semua aliran
teologis dalam Islam memegang doktrin
ini. Namun, Tauhid dalam paham
Mu’tazilah
memiliki arti spesifik. Yaitu :
Tuhanlah
satu-satunya yang Esa, yang unik dan tidak satupun yang menyamai-Nya. Karena
itu, Dia-lah yang
qadim. Bila ada yang qadim lebih dari satu, maka telah terjadi ta’adud al qudama (tebilangnya zat
yang tak berpemulaan).
Mu’tazilah menolak
konsep Tuhan memiliki sifat-sifat, penggambaran fisik, dan Tuhan dilihat dengan
mata kepala.
Al-Adl
Ajaran
tentang keadilan ini berkait erat dengan beberapa hal, antara lain :
Perbuatan
Manusia
Menurut Mu’tazilah,
melakukan dan menciptakan
perbuatannya sendiri, terlepas dari
kehendak dan kekuasaan
Tuhan, baik secara langsung maupun tidak. Konsep ini
memiliki konsekuensi logis dengan keadilan
Tuhan, yaitu apapun
yang akan diterima
manusia di akhirat merupakan balasan perbuatannya di
dunia.
Berbuat
baik dan terbaik (as-shalah wa al-ashlah)
Maksudnya
adalah kewajiban Tuhan untuk berbuat baik, bahkan terbaik untuk
manusia. Tuhan tidak
mungkin jahat dan
penganiaya, karena hal tersebut
tidak layak bagi
Tuhan. Jika Tuhan
berlaku jahat terhadap seseorang
dan berlaku jahat kepada orang lain berarti Ia tidak adil. Maka Tuhan pastilah berbuat yang terbaik bagi
manusia.
Mengutus
Rasul
Mengutus
rasul bagi manusia merupakan kewajiban bagi Tuhan dengan alasan sebagai berikut
:
Tuhan
wajib berlaku baik kepada manusia.
Al-Quran secara
tegas menyatakan kewajiban
Tuhan untuk memberikan belas kasih kepada manusia (QS 26:29).
Tujuan diciptakan
manusia adalah untuk
beribadah kepada- Nya.
Al-Wa’ad
wa al-Wa’id
Al-Manzilah
bain al-Manzilatain
Al-Amru bi al-Ma’ruf wa an-Nahy an Munkar.
6) Syiah
a. Asal-usul kemunculan Syiah
Syiah secara bahasa
berarti pengikut, pendukung, partai,
atau kelompok, sedangkan
secara terminology adalah
sebagian kaum muslimin
yang dalam bidang spiritual
dan keagamaannya selalu
merujuk kepada keturunan
Nabi Muhammad Saw, atau orang yang disebut sebagai ahl-bait.
Menurut
Abu Zahrah, Syiah mulai muncul pada akhir masa pemerintahan Utsman bin Affan
kemudian tumbuh dan
berkembang pada masa
pemerintahan Ali bin Abi
Thalib. Adapun menurut
Watt, Syiah benar-benar
muncul ketka berlangsung peperangan
antara Ali dan
Muawiyah pada perang
siffin. Dalam respon ini,
golongan yang mendukung Ali disebut sebagai Syiah dan yang tidak menolak Ali
disebut sebagai Khawarij.
Berkaitan dengan
teologi, mereka memiliki
lima rukun iman,
yakni Tauhid, Nubuwah, Ma’ad (Kepercayaan akan adanya hidup di akhirat),
Imamah(kepercayaan terhadap imamah yang merupakan hak ahlul bait), dan adl
(keadilan Tuhan).
b. Ajaran-ajaran Syiah
Tauhid.
Tuhan adalah Esa,
baik ekstensi maupun
esensi-Nya. Keesaan adalah mutlak. Keesaan Tuhan tidak murakkab (tersusun).Tuhan tidak membutuhkan
sesuatu, Ia berdiri sendiri, dan tidak dibatasi oleh ciptaan- Nya.
Nubuwah.
Setiap mahkluk membutuhkan petunjuk, baik petunjuk dari Tuhan maupun dari
manusia. Rasul merupakan petunjuk hakiki utusan Tuhan yang diutus untuk memberikan
acuan dalam membedakan
antara baik dan
buruk di alam semesta.
Tuhan telah mengutus
124.000 rasul untuk
memberikan petunjuk kepada manusia.
Ma’ad.
Ma’ad
adalah hari akhir untuk menghadapi Tuhan di akhirat. Mati adalah kehidupan
transit dari kehidupan dunia menuju kehidupan akhirat.
Imamah.
Imamah adalah institusi
yang diinagurasikan Tuhan
untuk memberikan petunjuk manusia yang
dipilih dari keturunan Ibrahim dan didelegasikan kepada keturunan
Muhammad Saw.
Adl.
Tuhan menciptakan kebaikan
di Alam semesta
ini merupakan keadilan. Tuhan memberikan akal kepada
manusia untuk mengetahui perkara yang salah
melalui perasaan. Manusia
dapat menggunakan indranya
untuk melakukan perbuatan, baik perbuatan baik maupun perbuatan buruk.
Jadi, manusia dapat memanfaatkan potensi berkehendak sebagai anugrah Tuhan
untuk mewujudkan dan bertanggung jawab atas perbuatannya.
Dalam perkembangannya, golongan
syiah ini terpecah
dalam beberapa sekte. Perpecahan
ini dipicu karena doktrin imamah yang berbeda-beda. Diantara sekte syiah itu
adalah Istsna Asy’Ariyah, Sab’iyah, Zaidiyah, dan
Gullat.
D. Pengaruh Teologi Terhadap Umat Islam
Persoalan
teologi yang berawal dari persoalan politik pemerintahan, tidak sedikit berimbas
terhadap tatanan kehidupan
masyarakat sosial yang
secara tidak langsung ikut terlibat serta menjadi bagian di dalamnya.
Berbagai kalangan bersaing untuk mempertahankan paham
mereka, bahkan hingga
menimbulkan perselisihan di dalam
golongan itu sendiri.
Hal ini menggambarkan
bahwa bukanlah suatu hal
yang aneh jika
terjadi perpecahan di
kalangan umat Islam, terlebih dalam satu golongan tidak kokoh
dengan satu pemahaman.
Adapun
pengaruh atau imbas dari teologi itu sendiri adalah :
Terpecahnya
Umat Islam dalam Keberagaman Sudut Pandang
Terpecahnya
umat Islam pada daat itu, tidak terlepas dari sejarah lahirnya teologi, yang
berawal dari terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan serta naiknya Ali sebagai
Khalifah yang memimpin
dunia Islam pada
saat itu. Sejarah
Islam secara gamblang menjelaskan
bahwa Perang Siffin
berimbas kepada lahirnya golongan-golongan yang berdiri di
atas paham mereka sendiri.
Persoalan teologipun
menjadi suatu hal
yang menarik pada
saat itu, terlebih jika
dikaitkan dengan berbagai
perkembangan pemikiran dari
suatu golongan dan bahkan peikiran para tokoh Islam.
Setidaknya banyak
aliran yang timbul
dari persoalan ini,
antara lain Khawarij, Murji’ah
dan Mu’tazilah
serta Qadariyah dan Jabariyah. Aliran-aliran ini berdiri dengan paham dan
pemikiran mereka masing-masing terhadap situasi yang terjadi pada saat itu.
Dengan adanya golongan-golongan inilah menggambarkan bahwa Islam terpecah dalam
beberapa kelompok yang menjunjung tinggi pemikiran mereka masing-masing.
Kecekcokan
dalam Suatu Golongan.
Bukan
hanya melibatkan kelompok-kelompok besar, teologi ternyata juga berdampak terhadap
apa yang terjadi
di dalam golongan-golongan tersebut. Persoalan yang
awalnya menimbulkan perbedaan
beberapa golongan, ternyata juga mengalami perbedaan tersendiri
di dalam ruang lingkup golongan tersebut
Khawarij misalnya,
yang dikenal sebagai
barisan yang keluar
dari pendukung Ali bin
Abi Thalib, dan
telah mempunyai pemikiran
tersendiri, ternyata dari pengikut
golongan khawarijpun tepecah
ke dalam beberapa
sekte dengan pemikiran yang
berbeda. Golongan khawarij
juga sering mengadakan perlawanan terhadap
penguasa-penguasa Islam dan
Umat Islam yang
ada di zaman mereka.
Lain hal
dengan Mu’tazilah, setelah
beberapa saat mencapai
puncak kejayaannya, Mu’tazilah mengalami
kemunduran drastis yang disebabkan
oleh perbuatan mereka sendiri. Mereka yang hendak mempertahankan pemikiran dan
kebebasan mereka sendiri,
malah memusuhi orang-orang
yang tidak mengikuti paham mereka. Peristiwa ini mencapai puncak hingga
menimbulkan perpecahan yang justru melahirkan golongan baru.
Tidak sedikit
dari golongan-golongan ini
yang menggunakan kekerasan dalam pelaksanaannya. Banyak
terjadi pemaksaan terhadap
umat Islam dan terhadap
pengikut golongan itu
sendiri untuk meyakini
atau ikut dengan pemikiran yang
mereka anut. Dan
tentunya tidak semua
pihak yang mampu menerima tindak
paksaan seperti itu,
sehingga memicu kekerasan
yang akan berdampak lebih buruk
lagi. Dari fenomena ini terlihat bahwa keberagaman pemikiran dan sifat ingin
berkuasanya manusia dapat
menimbulkan hal-hal yang
seharusnya tidak perlu terjadi, seperti peperangan antar
sesame Muslim.
Impilkasi
dari Aqidah yang berarah pada konsep pemahaman dari suatu
aliran. Keyakinan yang dianut oleh
masing-masing aliran justru menimbulkan
bid’ah. Jadi
berdasarkan catatatan sejarah
Islam, terdapat bid’ah khwarij, bid’ah murji’ah dan bid’ah syi’ah.
0 on: "Pergolakan firkah-firqah dalam islam"