Search This Blog

RameRame. Theme images by Storman. Powered by Blogger.

Cara Membuat Voucher Hotspot di Mikhmon Server

 Mikhmon adalah aplikasi berbasis web untuk mempermudah pengelolaan hotspot MikroTik, tanpa menggunakan radius server. Penjelasan lengkap te...

Konsep Kebudayaan dalam Islam


Menurut ahli budaya, kata budaya merupakan gabungan dari dua buah kata yaitu budi dan daya. Budi adalah akal, pikiran, paham, pendapat, ikhtisar, perasaan. Sedangkan daya adalah tenaga, kekuatan, kesanggupan. Dari dua pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa budaya adalah segala usaha dan upaya manusia yang dikerjakan dengan empergunakan hasil pendapat untuk memperbaiki kesepurnaan hidup (Sidi Gazalba, 1998 : 35).  Jika kita membicarakan tetang kebudayaan berarti kita membicarakan kehidupan manusia dengan segala aktivitasnya. Dengan melakukan berbagai macam kegiatan manusia berusaha dengan segala upaya dan kemampuannya untuk mengerjakan sesuatu yang bermanfaat bagi hidup. Dan kesempurnaan hidup dapat dicapai apabila manusia dapat mempergunakan akal budinya dengan baik.
Secara umum konsep islam berangkat dari dua pola hubungan yaitu hubungan secara vertikal yaitu dengan Alloh SWT dan hubungan dengan sesama manusia. Hubungan yang pertama berbentuk tata agama (ibadah), sedangkan hubungan kedua membentuk sosial (muamalah). Sosial membentuk masyarakat, yang jadi wadah kebudayaan. Dalam hubungan manusia dengan Tuhan manusia menaati perintah dan laranganNya. Namun hubungan manusia dengan manusia, ia masuk kategori kebudayaan.
Konsep islam tersebut termaktub dalam Al – Qur’an yang merupakan sumber pertama dan utama. Ayat – ayat yang pertama turun adalah perintah untuk membaca. Membaca artinya memahai makna yang dibacanya, ini berarti penggunaan akal dan pikiran. Sehingga dipahami bahwa Al – Qur’an mendorong penggunaan akal pikiran dan pengembangan secara maksimal.    
Kebudayaan adalah alam pikiran atau mengasah budi. Usaha kebudayaan adalah pendidikan. Kebudayaan adalah pergaulan hidup diantara manusia dan alam semesta. Boleh jadi kebudayaan adalah usaha manusia melakukan tugas hidup sebagai khalifah fil ardli (pemimpin di bumi). Kebudayaan merupakan persoalan yang sangat luas, dan sangat melekat pada iri manusia. Artinya, manusialah sejatinya pencipta dari kebudayaan tersebut. Kebudayaan hadir bersamaan dengan lahirnya manusia. Dari penjelasan ini, kebudayaan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu kebudayan sebagai suatu proses dan kebudayaan sebagai suatu produk.
Al – Qur’an memandang kebudayaan sebagai suatu proses, dan meletakkan kebudayaan sebagai eksistensi hidup manusia. Kebudayaan merupakan suatu totalitas kegiatan manusia yang meliputi kegiatan akal hati dan tubuh yang menyatu dalam suatu perbuatan. Oleh karena itu, secara umum kebudayaan dapat dipahami sebagai hasil akal, budi, cipta rasa, karsa, dan karya manusia. Ia tidak ungkin terlepas dari nilai – nilai kemanusiaan, namun bisa jadi lepas dari nilai – nilai kemanusiaan.
Kebudayaan islam adalah hasil akal, budi, cipta rasa, karsa, dan karya manusia yang berlandaskan pada nilai – nilai tauhid. Islam sangat menghargai akal manusia untuk berkiprah dan berkebang. Hasil akal, budi, rasa, dan karsa yang telah terseleksi oleh nilai – nilai keanusiaan yang bersifat universal berkembang menjadi sebuah peradaban. Dalam perkembangannya, kebudayaan perlu dibimbing oleh wahyu dan aturan – aturan yang mengikat agar tidak terperangkap pada ambisi yang bersumber dari nafsu hewani dan setan, sehingga akan merugikan dirinya sendiri. Di sini agama berfungsi untuk membimbing manusia dalam mengembangkan akal budinya sehingga menghasilkan kebudayaan yang beradab atau peradaban islami. Oleh karena itu misi ke-Rasulan Nabi Muhamad SAW sebagaiman sabdanya “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak”. Artinya Nabi Muhamad SAW mempunyai tugas pokok untuk membibing manusia supaya mengembangkan kebudayaan sesuai dengan petunjuk Alloh SWT.
Awal tugas ke-Rasulan Nabi meletakkan dasar – dasar kebudayaan islam yang kemudian berkembang menjadi peradaban islam. Ketika dakwah islam keluar dari Jazirah Arab kemudian tersebar ke seluruh dunia maka terjadilah suatu proses panjang dan rumit yaitu asimilasi budaya setempat dengan niali – nilai islam itu sendiri. Kemudian menghasilkan kebudayaan islam, kemudian berkebang menjadi suatu peradaban yang diakui kebenarannya secara universal.
2.2 Prinsip – Prinsip Kebudayaan Islam
            Menurut  Amer Al-Roubai, islam bukanlah hasil dari produk budaya, akan tetapi islam justru membangun sebuah budaya, sebuah peradaban. Peradaban yang berdasarkan Al – Qur’an dan Sunnah Nabi tersebut dinamakan peradaban islam. Kebudayaan islam bukanlah kebudayaan yang diciptakan oleh masyarakat islam, tetapi kebudayaan yang bersumber dari ajaran – ajaran islam/kebudayaan yang bersifat islami. Kebudayaan tersebut harus memenuhi prinsip – prinsip sebagai berikut :
a.       Menghormati akal
Manusia dengan akal yang dimilikinya dapat membangun atau membentuk kebudayaan baru. Kebudayaan islam tidaklah menampilkan hal – hal yang dapat merusak manusia. Dijelaskan dalam Q.S Ali – Imron 3:190 “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang terdapat tanda – tanda kebesaran Allah bagi orang yang berakal”.
b. Motivasi untuk menuntut dan mengembangkan ilmu. Dijelaskan dalam       Q.S Al-Mujadalah 58:11 “Allah akan mengagkat (derajad) orang – orang yang beriman di antaramu dan orang – orang yang berilmu berupa derajad”.
c.  Menghindari taklid buta
Kebudayaan islam hendaknya mengantarkan umat manusia untuk tidak menerima sesuatu sebelum diteliti. Firman Allah SWT Q.S Al-Isra 17:36 “Dan janganlah kamu mengikuti dari sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendegaran, penglihatan dan hati nurani semua itu akan diintai pertanggungjawaban”. 
d. Tidak membuat kerusakan
Firman Allah SWT Q.S Al-Qhasash 28:77 “Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh Alloh tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.”
Kebudayaan itu tidak terlepas dari prinsip – prinsip yang digariskan ad-din yaitu kemanusiaan. Kemanusiaan merupakan hakikat manusia, kemanusiaan itu sama saja dahulu, sekarang, dan yang akan datang. Tetapi perwujudan kemanusiaan itu tumbuh, berkembang, berbeda dan diperbaharui. Perubahan – perubahan terus terjadi, naun asasnya tetap, yaitu asas yang dituntun, ditunjuki, diperingatkan dan diberitakan oleh Al  - Qur’an dan Al Hadis.             
2.3 Sejarah intelektual Umat Islam
            Taufik Abdullah (2002) membagi sejarah pemikiran Islam di Nusantara dari abad ke-13 hingga pertengahan abad ke-19 M ke dalam tiga gelombang. Gelombang Pertama adalah gelombang diletakkannya dasar-dasar kosmopolitanisme Islam, yaitu sikap budaya yang menjadikan diri sebagai bagian dari masyarakat kosmopolitan dengan referensi kebudayaan Islam. Gelombang ini terjadi sebelum dan setelah munculnya kerajaan Samudra Pasai hingga akhir abad ke-14 M. Dalam Gelombang Kedua terjadi proses islamisasi kebudayaan dan realitas secara besar-besaran.Islam dipakai sebagai cermin untuk melihat dan memahami realitas. Pusaka lama dari zaman pra-Islam, yang Syamanistik, Hinduistik dan Buddhistik ditransformasikan ke dalam situasi pemikiran Islam dan tidak jarang dipahami sebagai sesuatu yang islami dari sudut pandang doktrin. Gelombang ini terjadi bersamaan dengan munculnya kesultanan Malaka (1400-1511) dan Aceh Darussalam (1516-1700). Dalam Gelombang Ketiga, ketikapusat-pusat kekuasaan Islam di Nusantara mulai tersebar hampir seluruh kepulauan Nusantara, pusat-pusat kekuasaan ini ‘seolah-olah’ berlomba-lomba melahirkan para ulama besar. Dalam gelombang inilah proses ortodoksi Islam mengalami masa puncaknya. Ini terjadi pada abad ke-18 – 19 M.
2.3.1 Gelombang Pertama
            Agama Islam sudah muncul di Nusantara sekitar abad ke-8 dan 9 M yang dibawa oleh para pedagang Arab dan Persia. Namun baru pada abad ke-13 M, bersamaan dengan berdirinya kerajaan Samudra Pasai (1272-1450 M), agama ini mulai berkembang dan tersebar luas. Di kerajaan Islam besar tertua inilah peradaban dan kebudayaan Islamtumbuh dan mekar. Sebagai kota dagang yang makmur dan pusat kegiatan keagamaan yang utama di kepulauan Nusantara, Pasai bukan saja menjadi tumpuan perhatian para pedagang Arab dan Parsi. Tetapi juga menarik perhatian para ulama dan cendekiawan dari negeri Arab dan Parsi untuk datang ke kota ini dengan tujuan menyebarkan agama dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Dalam kitab Rihlah (Paris 1893:230), Ibnu Batutah yang mengunjungi Sumatra pada tahun 1336 M, memberitakan bahwa raja dan bangsawan Pasai sering mengundang para ulama dan cerdik pandai dari Arab dan Parsi untuk membincangkan berbagai perkara agama dan ilmu-ilmu agama di istananya. Karena mendapat sambutan hangat itulah mereka senang tinggal di Pasai dan membuka lembaga pendidikan yang memungkinkan pengajaran Islam dan ilmu agama berkembang.
            Salah satu karya intelektual Islam tertua yang dihasilkan di Pasai adalah Hikayat Raja-raja Pasai. Kitab ini ditulis setelah kerajaan ini ditaklukkan oleh Majapahit pada tahun 1365 (Ibrahim Alfian 1999:52). Dilihat dari sudut corak bahasa Melayu dan aksara yang digunakan, karya ini rampung dikerjakan pada waktu bahasa Melayu telah benar-benar mengalami proses islamisasi dan aksara Jawi, yaitu aksara Arab yang dimelayukan, telah mulai mantap dan luas digunakan. Selanjutnya bahasa Melayu Pasai dan aksara Jawi inilah yang digunakan oleh para penulis Muslim di Nusantara, sehingga pada akhir abad ke-19M digunakan sebagai bahasa pergaulan utama di bidang intelektual sebagaimana di bidang perdagangan dan administrasi (Collin 1992).
            Hikayat yang ada di Samudra Pasai adalah saduran beberapa hikayat Parsi, seperti Hikayat Muhammad Ali Hanafiya, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Bayan Budiman dan lain-lain. Dua hikayat yang pertama adalah cerita kepahlawanan (epos) yang didasarkan atas sejarah kepahlawanan Islam pada periode awal penyebaran agama ini. Dalam Sejarah Melayu (1607 M) Tun Sri Lanang menyebutkan bahwa dua hikayat ini sangat digemari di Malaka pada akhir abad ke-15 M dan orang-orang Malaka membacanya untuk membangkitkan semangat perang mereka melawan Portugis. Tun Sri Lanang juga menyebutkan kegemaran orang-orang Malaka dan sultan mereka terhadap tasawuf. Sebuah kitab tasawuf Durr al-Manzum karangan Maulana Abu Ishaq telah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Abdullah Patakan, seorang ulama terkenal dari Pasai, memenuhi permintaaan Mansur Syah, Sultan Malaka pertengahan abad ke-15 M (Ibrahim Alfian 1999:53).
Adapun Hikayat Budiman, merupakan cerita berbingkai termasuk ke dalam jenis pelipur lara seperti Kisah Seribu Satu Malam. Karya Islam lain yang sangat populer ialah Qasidah al-Burdah, untaian puisi-puisi pujian kepada Nabi Muhammad SAW yang biasa dinyanyikan secara bersama dalam perayaan Maulid Nabi. Kitab ini dikarang oleh Syekh al-Busiri, seorang penyair sufi Mesir abad ke-13 M dan telah diterjemahkan pula ke dalam bahasa Melayu pada abad ke-15 M. Dalam kitabnya Tuhfat al-Mujahidin, sejarawan Muslim abad ke-15 M Zainuddin al-Ma`bari yang pernah berkunjung ke Sumatra mengatakan bahwa para pendakwah Islam menjalankan dakwahnya dengan menuturkan cerita-cerita sekitar kehidupan dan perjuangan Nabi Muhamad dan hasilnya sangat efektif (Ismail Hamid 1983:27).
Setelah Pasai mengalami kemunduran, pusat kegiatan kebudayaan dan penyebaran agama Islam pindah ke Malaka (1400-1511 M) dan setelah Malaka ditalukkan Portugis maka pusat kebudayaan dan penyebaran agama Islam pindah pula ke Aceh Darussalam (1516-1700 M).
            Dari kenyataan itu pula kita mengetahui bahwa sejak awal terdapat beberapa jenis sastra yang digemari, yaitu karya bercorak sejarah, cerita nabi-nabi, khususnya kisah di sekitar kehidupan dan perjuangan Nabi Muhammad s.a.w., cerita berbingkai yang berfungsi sebagai pelipr lara dan sekaligus media pengajaran budi pekerti. Juga dari kenyataan tersebut kita mengetahui bahwa tasawuf sangat mempengaruhi jiwa kaum terpelajar Muslim Melayu.
2.3.2 Gelombang Kedua  (ZamanPeralihan)
            Zaman peralihan, yang ditandai dengan penyalinan dan penggubahan kembali karya-karya zaman Hindu-Buddha dengan diberi suasana dan nafas Islam. Ciri-ciri karya zaman peralihan ini sangat menarik, karena unsur-unsur Islam yang dimunculkan pada mulanya tidaklah begitu ketara. Allah Ta`ala misalnya pada mulanya disebut Dewata Mulia Raya, kemudian diganti Raja Syah Alam dan baru kemudian disebut Allah Subhana wa Ta`ala. Sebutan Yang Mulia Raya, Raja Syah Alam dan lain-lain tampak misalnya pada syair-syair tasawuf Hamzah Fansuri dan murid-muridnya pada abad ke-16 dan 17 M. Demikian pula tokoh-tokoh cerita mulai diberi nama-nama Islam. Peranan dewa-dewa diganti dengan jin, mambang, peri dan makhluq halus lain. Tidak jarang pula tempat terjadinya cerita dipindah ke negeri yang rajanya telah memeluk agama Islam. Dan raja tersebut dikisahkan memperoleh kemenangan karena percaya terhadap kekuasaan Yang Satu.
            Cerita-cerita zaman Hindu yang disadur atau digubah kembali pada umumnya adalah cerita-cerita yang termasuk jenis pelipur lara, terutama jenis kisah cinta dan petualangan yang dibumbui peperangan antara tokoh yang berpihak pada kebanaran menentang raja kafir yang zalim. Lambat laun kisah-kisah ini ditransformasi menjadi alegori atau kisah-kisah perumpamaan sufi. Contoh yang masyhur ialah Hikayat Syah Mardan, sebuah alegori sufi yang ditulis berdasarkan sebuah cerita dari India yang mirip dengan cerita Anglingdarma yang populer di Jawa. Pengembaraan tokohnya Syah Mardan dan peperangan yang dilakukan melawan musuh-musuhnya, dirubah fungsinya, yaitu untuk menerangkan tahapan-tahapan keruhanian (maqam) yang harus ditempuh seorang pencari Tuhan dalam tasawuf atau ilmu suluk. Jika diringkas maqam-maqam tersebut mencakup: (1) Mujahadah, perjuangan menundukkan diri atau nafsu rendah yang menguasai diri; (2)Musyahadah, penyaksian keesaan Yang Satu secara intuitif atau kalbiah; (3) Mukasyafah, tersingkapnya hijab yang menutupi penglihatan batin. Cerita Dewa Ruci, yang digubah berdasarkan cerita Islam Parsi Hikayat Iskandar Zulkarnain.Tokoh Iskandar diganti Bima, dan Nabi Khaidir diganti dengan Dewa Ruci. Motif pencarian air hayat(ma`al-hayat) dalam kisah itu pula, adalah perlambang bagi pencarian makrifatatau pengetahuan ketuhanan yang menyebabkan seseorang kekal (baqa’) di dalam Yang Abadi, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
            Memang pada masa ini pengaruh tasawuf dan sastra Parsi sangat dominan dalam semua aspek kebudayaan Islam. Susunan bab-bab dalam hikayat dan kitab-kitab tasawuf juga ditiru dari model yang terdapat dalam sastra Parsi. Contoh terbaik dari karya-karya yang demikian ialah Hikayat Si Miskin, Hikayat Nakhoda Muda, Hikayat Ahmad Muhamad, Hikyat Berma Syahdan, Hikayat Indraputra dan Hikayat Syah Mardan. Begitu pula Kitab Taj al-Salatin (Mahkota Raja-raja) yang ditulis oleh Bukhari al-Jauhari di Aceh pada awal abad ke-17, penyusunan bab-babnya ditiru dari kitab-kitab Parsi yang membicarakan masalah etika dan pemerintahan.
Suluk-suluk dan risalah tasawuf Sunan Bonang yang ditulis antara akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16 M. Sunan Bonang alias Makhdum Ibrahim adalah seorang wali sufi di pulau Jawa yang sangat prolifik dalam dunia penulisan. Dia hidup antara pertengahan abad ke-15 sampai awal abad ke-16 M, bersamaan dengan mundurnya kerajaan Hindu besar terakhir Majapahit dan bangunya kesultanan Demak, kerajaan Islam pertama di pulau Jawa. Dia pernah belajar di Malaka dan Pasai. Karya-karyanya benar-benar mencerminkan zaman peralihan dari Hindu ke Islam yang berlaku di Nusantara.
Karya-karya Sunan Bonang pada umumnya berupa suluk, yaitu puisi-puisi dalam bentuk tembang Jawa yang memaparkan jalan keruhanian dalamilmu tasawuf, dengan menggunakan perlambang-perlambang atau tamsil. Di antara suluk-suluknya ialah Suluk Khalifah, Suluk Kaderesan, Suluk Regol, Suluk Bentur, Suluk Wujil, Suluk Wasiyat, Gita Suluk Latri dan lain-lain. Dia juga menulis risalah tasawuf dalam bentuk dialog antara seorang guru sufi dan muridnya. Salah satu versi dari risalah tasawufnya itu telah ditransliterasi dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Drewes (1969) di bawah judul The Admonitions of Seh Bari (“Pitutur Syekh Bari”). Di antara ciri-ciri karya zaman peralihan :
1.Karya sastra, sebagaimana wacana keagamaan dan intelektual lain, dianggap    sebagai suluk, yaitu jalan keruhanian menuju Kebenaran Tertinggi.
2.Wawasan estetika yang dijadikan asas penciptaan karya sastra didasarkan atas metafisika atau kosmologi Islam yang dikembangkan para sufi Arab dan Parsi abad ke-12 dan 13 M seperti Ibn `Arabi, Imam al-Ghazali dan Jalaluddin al-Rumi. Mengikuti sistem metafisika sufi, yang membagi alam kewujudan jadi empat, realitas dan tatanan keindahan atau kebenaran yang disajikan dalam karya juga terdiri dari empat lapis yang tersusun secara hirarkis. Empat alam atau tatanan wujud itu dari atas ke bawah ialah Alam Ketuhanan (alam lahut), Alam Keruhanian (alam jabarut), Alam Kejiwaan (alam malakut) dan Alam Jasmani (alam nasut).
3.Unsur budaya lokal dipertahankan dan diintegrasikan ke dalam sistem nilai Islam. Misalnya seorang ahli makrifat disebut mahayogi, sedangkan di dalam kitab Melayu disebut pendeta. Baru kata-kata Syekh dan faqir digunakan. Untuk menerangkan hubungan Yang Satu dengan ‘yang banyak’, digunakan hubungan antara dalang, wayang dan kelir wayang.
4. Tamsil-tamsil erotis (percintaan) mulai sering digunakan untuk menggambarkan pengalaman cinta transendental (`ishq) seorangsalik (penempuh jalan ruhani) dalam menjumpai Kekasihnya,Yang Satu.
2.3.3 Gelombang Ketiga
            Akhir abad ke-16 M dan awal abad ke-17 M, bersamaan dengan berkembangnya kesultanan Aceh Darussalam sebagai kerajaan besar yang berpengaruh di Asia Tenggara, gelombang kedua pemikiran Islam bermula dalam arti sesungguhnya. Pada masa ini islamisasi realitas benar-benar dijalankan secara penuh dan Islam dipakai sebagai cermin untuk melihat dan memahami realitas kehidupan dalam hampir seluruh aspeknya. Dua gejala dominan yang saling berhubungan muncul pada masa ini, yaitu kecenderungan melahirkan renungan-renungan tasawuf dalam mempersoalkan hubungan manusia dengan Yang Abadi, dan perumusan sistem kekuasaan yang memunculkan kitab tentang teori kenegaraan (Taufik Abdullah 2002). Pada masa inilah muncul tokoh-tokoh besar di bidang keagamaan dan sastra yang pemikirannya mewarnai dan menentukan perkembangan intelektual Islam padamasa sesudahnya.
            Mewakili gejala dominan pertama adalah Hamzah Fansuri dan Syamsudin Sumatrani (disebut juga Syamsudin Pasai) bersama murid-muridnya pada akhir abad ke-6 dan awal abad ke-17 M. Mewakili gejala kedua ialah Bukhari al-Jauhari dan Nuruddin al-Raniri, yang muncul secara berurutan pada paruh pertama abad ke-17 M, ketika Aceh mencapai puncak kejayaannya sebagai pusat keagamaan, kebudayaan dan kegiatan politik Islam. Pada masa inilah kitab-kitab keagamaan – fiqih, teologi dan tasawuf – untuk pertama kalinya ditulis secara sistematis, filosofis dan ilmiah. Begitu pula pada masa inilah untuk pertama kalinya dilahirkan puisi-puisi keagamaan, khususnya syair-syair tasawuf, yang benar-benar ekspresif dan membangkitkan kesadaran diri baru. Melalui karya-karya para sufi dan ulama Aceh abad ke-17 M inilah Islam dimaklumkan sebagai bagian dari ’diri yang sah’ dan bagian dari ’sejarah Nusantara’ yang sah pula. Seperti dikatakan Taufik Abdullah, ”Dalam gelombang kedua ini, teori kekuasaan yang bertolak dari pendekatan sufistik mulai dirumuskan. ’Negara’ tidak lagi sekadar refelksi dari kedirian sang raja tetapi juga pranata yang merupakan wadah bagi terwujudnya kesatuan yang harmonis antara ’raja’ dan ’rakyat’, dan antara makhluq dan Khaliq” (Ibid).
            Risalah tasawuf  Syekh al-Fansuri yang dijumpai ada tiga, yaitu Syarab al-`Asyiqin (Minuman Orang Berahi), Asrar al-`Arifin (Rahasia Ahli Makrifat) dan al-Muntahi. Kitabnya Syarab al-Asyiqin oleh al-Attas (1970) dianggap sebagai karyanya yang pertama. Di samping itu ia dianggap pula sebagai risalah keilmuan pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu baru. Versinya yang lain diberi judul Zinat al-Muwahhidin (Perhiasan Ahli Tauhid). Sedangkan syair-syair tasawufnya yang dijumpai tidak kurang dari 32 ikat-ikatan atau untaian[1]. Syair-syairnya dianggap sebagai ’syair Melayu’ pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu, yaitu sajak empat baris dengan pola bunyi akhir AAAA pada setiap barisnya (al-Attas 1968; Braginsky 1991 dan 1992). Syamsudin al-Sumatrani (w. 1630 M) menyebut sajak-sajak tersebut sebagai ruba’i, yaitu sajak empat baris dengan dua misra’ (Ali Hasymi 1975)
Ciri-ciri penting syair - syair Hamzah Fansuri ialah :
1.      Pemakaian penanda kepengarangan seperti faqir, anak dagang, anak jamu, `asyiq dan lain-lain, yang kesemuanya ditransformasikan dari gagasan sufi tentang peringkat rohani (maqam) tertinggi di jalan kerohanian atau ilmu suluk.
2.      Banyak petikan ayat al-Qur’an, Hadis, pepatah dan kata-kata Arab, yang beberapa di antaranya telah lama dijadikan metafora, istilah dan citraan konseptual penulis-penulis sufi Arab dan Parsi.
3.      Dalam setiap bait terakhir ikat - ikatan syairnya sang sufi selalu mencantumkan nama diri dan takhallus-nya, yaitu nama julukannya yang biasanya didasarkan pada nama tempat kelahiran penyair atau kota di mana dia dibesarkan. Di situ penyair juga mengungkapkan tingkat dan pengalaman kesufianyang dicapainya. Di sini penyair benar-benar menekankan pentingnya individualitas dalam penciptaan puisi (Teeuw 1994; Abdul Hadi W. M. 2001: 136-146).
4.      Penggunaan tamsil dan citraan-citraan simbolik atau konseptual yang biasa digunakan penyair-penyair sufi Arab dan Persia dalam melukiskan pengalaman dan gagasan kesufian mereka berkenaan dengan cinta, kemabukan mistikal, fana’, makrifat, tatanan wujud dan lain-lain.
5.      Karena paduan yang seimbang antara diksi (pilihan kata), rima dan unsur-unsur puitik lainnya, syair-syair Hamzah Fansuri menciptakan suasana ekstase (wajd) dalam pembacaannya, tidak kurang seperti suasana yang tercipta pada saat para sufi melakukan wirid, zikir dan sama’, yaitu konser musik kerohanian yang disertai dengan zikir, nyanyian dan pembacaan sajak.
2.4 Masjid dan Peradaban Umat Islam
Masjid berasal dari kata Sujudan, Sajada, Masjidu, Masjid yang berarti tempat untuk sujud. Masjid yaitu suatu bangunan yg didirikan secara khusus untuk beribadah kepada Allah ( terutama Sholat ). Masjid didirikan berdasarkan jiwa Tauhid dan sebagai serminan rasa Mahabah (Cinta-kasih). ( Ensiklopedi Islam: Vol.8. Jakarta:PT Ikhtiar Baru,1994, hlm.169)
Peradaban adalah untuk menyebut unsur Kebudayaan yg dianggap “halus- indah- dan maju”. Seperti Ilmu Pengetahuan & Teknologi, adat-istiadat, moral, kesenian, gaya tulisan-bangunan, sikap sopan-santun, pemeritahan, kesehatan dsb.*  V.Gordon Child tentang ciri-ciri Peradaban: Ilmu Pengetahuan & Teknologi, Spesialisasi Pekerjaan atau Profesi, Adanya herarchi sosial, Kelembagaan yang berkembang ( seperti : pendi- dikan, politik, moral, ekonomi, militer, kesehatan, dan sebagainya. ( Ensiklopedi Nasional Indonesia,Vol.13. Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1980, hlm. 2.)
Dulu Masjid bukan hanya tempat untuk menjalankan salat dan ritual – ritual agama lainnya, namun Masjid menjadi tempat penyebaran agama islam, tempat berlangsungnya proses kegiatan belajar mengajar, tempat dimana Nabi Muhammad mengader pemuda. Masjid juga dijadikan sebagai tepat memotivasi agar sahabat – sahabat hidup sejahtera dan berkecukupan oleh Nabi Muhammad. Untuk itu Nabi Muhammad meminta umat islam agar memakurkan Masjid dan menjadikannya sebagai pusat peradaban. Masjid meiliki peran yang sangat penting dalam sejarah peradaban umat islam. Masjid juga menjadi penanda penyebaran islam seperti Masjid Quba yang dibangun Nabi Muhammad di tengah – tengah beliau hijrah ke Madinah. Sesampai di Madinah Nabi membangun Masjid Nabawi. Begitupun dengan apa yang dilakukan para Wali dan Ulama, ereka membangun Masjid dimanapun mereka mendakwahkan islam.
Kehidupan sehari – hari umat islam terkait erat dengan Masjid yang didirikan atas dasar iman. Penampilan dan manajemen Masjid bisa memmberi gambaran tentang hubungan Masjid dengan sumber daya manusia disekelilingnya. Manajemen Masjid harus dilaksanakan sebagai pengamalan dan hubungan manusia dengan Allah SWT. Dan hubungan hubungan manusia dengan manusia lain, Q.S Ali Imron:122 “Mereka akan ditimpa kehinaan dimana saja mereka berada, kecuali kalau mereka tetap enjaga hubungannya dengan Allah dan menjaga hubungannya dengan manusia.
Kualitas sumber daya manusia yang merupakan pengamalan ilmu dapat tergambar dala bentuk bangunan (arsitektur) dan manajemen dari sebuah Masjid sebagaimana telah diketahui bahwa arsitektur sebuah bangunan Masjid mepunyai hubungan dengan perkembangan budaya. Sedangkan budaya itu sendiri merupakan hasil dari rekayasa manusia. Dalam arti kata bahwa kebudayaan itu adalah hasil upaya (rekayasa) dala keseluruhan ilu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia. Perkembangan ilmu pengetahuan itu terkait erat dengan ruang dan waktu tertentu. Oleh karena itulah maka kebudayaan itu merupakan gambaran dari perkebangan intelektual manusia yang sangat dipengaruhi oleh nalar dalam ruang dan waktu tertntu, sebagai ilustrasi antara iman (agama) dengan lingkungan.          
Fungsi Masjid Sebagai Pusat Peradaban Islam :
Fungsi pokok masjid adalah sebagai  tempat sholat jamaah. Fungsi masjid sebagai kelembagaan  adalah untuk membangun manusia secara menyeluruh dalam rangka membangun manusia yang utuh dan beradab. Pada zaman Nabi Muhammad Saw. dari Masjid berhasil mengubah dari “Masyarakat Jahiliah (yang biadab), menjadi Masyarakat Tamaduniyah (yang ber-peradabaN).
MASJID KUBA’
Masjid Kuba’  tempat awal pembentuk- an Khaira Ummah,  sebagai modal dasar pembentukan masyarakat Islam. Konsep Masyarakat Madani dilakukan:
1. Pembentukan keluarga sakinah, berlandaskan rasa aman, kesejahteraan dan harmonisasi, yang terbebas dari berbagai bentuk ancaman, kegelisahan, hidup saling curiga dan ketidak amanan, kehidupan yang menentramkan, yang didalamnya sarat akan keselamatan, perdamaian, toleransi, harmonisasi, cinta kasih dan persaudaraan.
2. Pembentukan masyarakat Marhamah, yakni masyarakat yang meiliki kasih sayang.
3. Pembentukan Negara Baldah Toyyibah, penuh keberkahan, kesuksesan, kemakmuran, kedamaian, dan juga kebahagiaan.
Masjid di Zaman Nabi
1. Fungsi utama sebagai tempat sholat berjama’ah
2. Tholabul Ilmy ( pendidikan )
3. Baitul Mal (kas negara)
4. Mahkamah Pengadilan
5. Menemui  tamu kenegaraan
6. Mengatur siyasah / kenegaraan
7. Permusyawaratan
8. Kesehatan, dan lain sebagainya.
Peradaban islam tumbuh dan berkem- bang mulai dari Masjid kemudian mekar ke seluruh masyarakat desa-kota-negara- dan jagad raya. Persaudaraan islam diharapkan tumbuh dan berkembang dari Masjid, hingga akrab bersobat. Alangkah mulianya para takmir Masjid yang beramal menjadi khodamul masjid.
Kupat = Laku Papat
1. Silaturahim antar Takmir Masjid
2. Peningkatan dana Masjid
3. Penelitian – Muhasabah & Program
4. Menjalin Kerja-sama yg bermanfaat
Untuk kenyamanan jama’ah, menebar rahmat Allah swt. dan mencipta kemaslahatan umat.



loading...

0 on: "Konsep Kebudayaan dalam Islam"